Jakarta (ANTARA) - Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan bahwa Indonesia dan Australia berkomitmen memberikan bantuan kemanusiaan untuk rakyat Myanmar.
Dalam pertemuan menteri luar negeri dan menteri pertahanan (2+2) Indonesia-Australia di Jakarta, Kamis, Menlu Retno menjelaskan bahwa Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) sudah dalam tahap lanjutan untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan gelombang pertama.
“Keselamatan dan keamanan sangat penting untuk memastikan keberhasilan pengiriman bantuan kemanusiaan tersebut,” kata Retno saat menyampaikan pernyataan pers secara virtual usai pertemuan 2+2 menlu dan menhan Indonesia-Australia.
Selain itu, Indonesia kembali menggarisbawahi pentingnya implementasi Konsensus Lima Poin, terutama pemberian akses kepada Utusan Khusus ASEAN untuk Myanmar Erywan Yusof untuk bertemu dengan semua pemangku kepentingan di Myanmar.
Menurut Menlu Australia Marise Payne, Indonesia memiliki peran sebagai pemimpin di ASEAN, khususnya dalam pelaksanaan Pandangan ASEAN tentang Indo-Pasifik (ASEAN Outlook on the Indo-Pacific) dan respons ASEAN terhadap situasi di Myanmar.
Payne juga menegaskan dukungannya kepada Erywan Yusof, untuk menjalankan tugasnya dalam membantu penyelesaian krisis di Myanmar.
Sebelumnya, Utusan Khusus ASEAN untuk Myanmar Erywan Yusof mengatakan bahwa junta Myanmar telah menyetujui seruan perhimpunan tersebut untuk melakukan gencatan senjata hingga akhir tahun demi distribusi bantuan kemanusiaan.
Dalam konferensi video, Erywan mengusulkan gencatan senjata dengan Menlu Myanmar Wunna Maung Lwin. Pihak militer telah menerima usulnya, kata Erywan kepada Kyodo.
“Ini bukan gencatan senjata politik. Ini adalah gencatan senjata untuk memastikan keselamatan (dan) keamanan pekerja bantuan kemanusiaan dalam upaya mereka mendistribusikan bantuan dengan aman,” kata Menlu II Brunei Darussalam itu pada Minggu (5/9).
Sementara itu pada Selasa (7/9), pemerintah bayangan Myanmar yang dibentuk oleh penentang kekuasaan militer, menyerukan pemberontakan melawan pemerintahan junta.
Duwa Lashi La, penjabat presiden Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), mengatakan dalam pidatonya bahwa pemerintah bayangan, yang terdiri dari para anggota yang berada di pengasingan atau persembunyian, mengumumkan keadaan darurat.
Militer Myanmar menggulingkan pemerintah terpilih pimpinan Aung San Suu Kyi pada 1 Februari. Tindakan kudeta militer itu telah memicu gelombang protes dari para pendukung pro-demokrasi, dan ratusan korban jiwa berjatuhan ketika pasukan keamanan berusaha memadamkan demonstrasi.
Beberapa penentang kekuasaan militer telah membentuk kelompok-kelompok bersenjata di bawah panji-panji Tentara Pertahanan Rakyat, dan telah menjalin aliansi dengan beberapa milisi etnis yang telah lama melihat tentara Myanmar sebagai musuh mereka.
Duwa Lashi La menyatakan Pemerintah Persatuan Nasional meluncurkan "perang defensif". Dia pun menyerukan "pemberontakan melawan kekuasaan teroris militer yang dipimpin oleh Min Aung Hlaing di setiap sudut negara."
Penguasa militer Myanmar Min Aung Hlaing pada Agustus mengambil peran sebagai perdana menteri dalam pemerintahan sementara Myanmar yang baru dibentuk dan berjanji untuk mengadakan pemilihan umum baru pada 2023.
Junta sendiri telah mencap Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) dan Tentara Pertahanan Rakyat sebagai kelompok teroris.