Bencana alam yang disebabkan oleh pengaruh cuaca ekstrem seperti kebakaran hutan, gelombang panas, dan banjir bandang mendatangkan malapetaka di seluruh dunia.
Rekor cuaca ekstrem berhasil dipatahkan secara konsisten di seluruh dunia pada tahun 2021 ini.
Sebut saja badai yang menghantam Kota Zhengzhou di Tiongkok pada 19 Juli lalu adalah peristiwa di luar prediksi. Curah hujan yang setara dengan curah hujan sepanjang tahun, sebesar 624 mm, mengguyur kota itu hanya dalam satu hari.
Akibatnya, 200.000 orang dievakuasi dan 33 meninggal dunia. Seminggu sebelumnya, bencana banjir di Jerman bagian barat meninggalkan jejak kehancuran.
Banjir itu menewaskan 177 orang dan setidaknya 100 orang di antaranya belum ditemukan, sementara banjir di Belgia menewaskan 37 orang.
Veerabhadran Ramanathan, guru besar dan pakar iklim dari Universitas California menjelaskan bahwa kematian di sejumlah negara maju seperti di Jerman menunjukkan bahwa masyarakat begitu tidak siap dalam menghadapi pemanasan global (Duarte, 2021).
Berbagai perdebatan bergulir mengenai penyebab dari perubahan cuaca ekstrem ini. Apakah hal ini murni disebabkan oleh faktor alam atau memang terdapat campur tangan manusia. Dalam dua dasawarsa terakhir, para ilmuwan mempelajari korelasi antara peristiwa cuaca ekstrem dan pemanasan global yang didorong oleh emisi gas rumah kaca oleh manusia.
Di satu sisi, ada konsensus di antara komunitas ilmuwan bahwa peristiwa cuaca ekstrem disebabkan faktor alamiah. Tapi, kini semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa perubahan iklim buatan manusia dapat membuat kejadian ini lebih mungkin dan lebih intens (Duarte, 2021).
United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) menetapkan bahwa terdapat enam jenis gas rumah kaca yang dihasilkan oleh tindakan manusia di antaranya karbondioksida, metana, nitro oksida, hydrofluorocarbons, perfluorocarbons dan sulfur hexafluoride.
Berdasarkan hasil observasi, suhu permukaan bumi telah meningkat hingga rata-rata sebesar 1°C sejak awal revolusi industri dan kenaikan ini akan terus mencapai 2°C pada pertengahan abad ini dan lebih dari 3,5°C pada akhir 2100 jika tidak diupayakan tindakan yang agresif untuk menekan laju pertumbuhan emisi gas rumah kaca dari aktivitas manusia.
"Perlawanan" Dunia
Berbagai upaya dunia internasional untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca telah digaungkan sejak lama.
United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang dilaksanakan di Rio de Janeiro, Brasil, pada tahun 1992 juga menjadi dasar terbentuknya Protokol Kyoto. Protokol ini kemudian diadopsi pada 11 Desember 1997 dan dibuka untuk ditandatangani pada 16 Maret 1998.
Protokol ini dikembangkan dengan tujuan untuk mengendalikan target penurunan emisi dan target waktu penurunan emisi bagi negara maju, namun bagi negara berkembang tidak diberikan target penurunan emisi.
Namun hal yang paling penting untuk diperhatikan bahwa protokol Kyoto merupakan suatu instrumen hukum yang didesain untuk mengimplementasikan konvensi UNFCCC (Kusumawardhani, 2007).
Di Tiongkok, pada awal tahun 2021, Kementerian Lingkungan Tiongkok mengatakan bahwa operasional skema perdagangan emisi karbon (emissions trading scheme) yang sempat tertunda telah diluncurkan pada tahun ini. Hal ini seiring dengan langkah Negeri Tirai Bambu menuju dekarbonisasi ekonomi pada 2060 (Amalia, 2021).
Sementara itu di belahan dunia lainnya, Presiden Amerika Serikat, Joe Biden berjanji untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang diproduksi AS hingga 52 persen pada 2030.
Kebijakan Indonesia
Pertanyaan kemudian muncul, apa yang telah dilakukan oleh Indonesia dalam menyikapi perubahan iklim dalam mengurangi efek gas rumah kaca?
Dilansir dari Laman Resmi Presiden Republik Indonesia, sejauh ini pemerintah Indonesia terus berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 26 persen pada tahun 2020 dan 29 persen pada tahun 2030, sesuai dengan konvensi perubahan iklim yang telah disepakati.
Salah satu langkah konkret untuk mencapai cita-cita tersebut adalah melalui penurunan emisi gas rumah kaca dari sektor energi. “Yang paling signifikan turunkan emisi adalah mendorong pelaksanaan strategi pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT)," ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin dalam seminar virtual Sustainable Energy: Green and Clean, Kamis (28/1/2021).
Pada 2021 hingga 2030, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin menargetkan pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) skala besar sebesar 5,3 gigawatt (GW) dan rencana pengembangan PLTS atap sebesar 2 GW.
Target penurunan emisi dari kedua program tersebut masing-masing sebesar 7,96 juta ton karbondioksida (CO2) dan 3,2 juta ton CO2 (Meilanova, 2021).
Bukan hanya itu, pemerintah Indonesia juga tengah membentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup dan SDG Indonesia One yang bertujuan mempertemukan berbagai kegiatan maupun perubahan iklim dengan sumber dananya baik dari APBN, mitra pembangunan, badan usaha, filantropis, individu dan lembaga multilateral.
Lebih jauh lagi, perhatian pemerintah terhadap dampak perubahan iklim juga diberikan melalui transfer ke daerah. Dana Alokasi Khusus non fisik menyalurkan bantuan penyediaan biaya layanan pengelolaan sampah, sedangkan transfer lain seperti Dana Insentif Daerah (DID) ditujukan untuk membantu pemerintah daerah mengelola serta menangani sampahnya agar dapat berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Edukasi terhadap masyarakat
Sesungguhnya manusia adalah subjek penyebab peningkatan gas rumah kaca dan juga penderita akibat dari perubahan iklim.
Namun, sayangnya mayoritas masyarakat tidak menyadari hal ini, sehingga terus-menerus melakukan aktivitas yang cenderung dapat meningkatkan produksi gas rumah kaca dan menyebabkan kenaikan suhu bumi.
Oleh karena itu, tanggung jawab terhadap pengendalian emisi gas rumah kaca dan perhatian terhadap perubahan lingkungan bukan hanya beban dari pemerintah melainkan semua pihak.
Kita sebagai warga negara yang baik dan penghuni planet bumi perlu sadar, bahwa fenomena perubahan cuaca ekstrim bukan lagi tentang masa depan melainkan saat ini.
Untuk itu, pemerintah dan masyarakat perlu saling bahu-membahu untuk mendukung cita-cita penurunan emisi karbon Indonesia sebesar 29 persen pada 2030.
*) Faris Budiman Annas adalah Peneliti dan Akademisi Universitas Paramadina Jakarta