Serangan epilepsi bisa terjadi kapan saja dan penderitanya sebagian besar anak-anak, namun epilepsi juga bisa muncul di usia dewasa. Menurut dr Hanif Tobing, ahli bedah saraf di FKUI/RSCM, kasus epilepsi pada orang dewasa biasanya terjadi karena infeksi atau trauma di kepala akibat kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan memar otak.
Dr Mohamad Saekhu, SpBS, dari Departemen Bedah Saraf FKUI-RSCM Jakarta mengatakan, epilepsi terjadi akibat tidak normalnya aktivitas listrik di otak. Hal ini menyebabkan kejang dan perubahan perilaku dan hilangnya kesadaran. Tanda-tandanya bisa berupa kehilangan kesadaran untuk waktu tertentu, kejang, lidah menjulur, keluar air liur, gemetar atau tiba-tiba black out.
Ada dua jenis epilepsi yang dikenal, yaitu epilepsi umum, berupa hilangnya kesadaran, kejang seluruh tubuh hingga mengeluarkan air liur berbusa dan napas mengorok, serta terjadi kontraksi otot yang mengakibatkan pasien mendadak jatuh atau melemparkan benda yang tengah dipegangnya.
Epilepsi parsial ditunjukkan oleh rasa kesemutan atau rasa kebal pada satu tempat yang berlangsung beberapa menit atau jam. Bisa juga, rasa seperti bermimpi, daya ingat terganggu, halusinasi, atau kosong pikiran. Seringkali diikuti mengulang-ulang ucapan, melamun, dan berlari-lari tanpa tujuan.
"Epilepsi parsial ini dapat berkembang menjadi epilepsi umum," ujarnya.
"Penyakit ini bisa timbul karena kelainan bentukan otak (kongenital), infeksi penyakit yang menyebabkan radang otak, adanya tumor di otak, step berulang, gangguan metabolisme, serta ada yang tidak diketahui penyebabnya," kata Saekhu.
Menurut ahli penyakit saraf dari Departemen Ilmu Penyakit Saraf UI dr Lyna Soertidewi, SpS(K)M.Epid, kasus epilepsi di Indonesia cukup banyak. Prevalensi rata-rata epilepsi aktif sekitar 8,2 per 1000 penduduk, sementara angka insidensi mencapai 50 per 100 ribu penduduk.
Banyak hal yang bisa menyebabkan anak mengidap epilepsi, katanya, mulai dari saat kehamilan, ketika sang ibu mengalami gangguan seperti infeksi, demam tinggi, atau malnutrisi. Proses persalinan yang bermasalah atau telat bulan juga bisa mengurangi asupan zat asam atau gangguan otak lain, seperti infeksi atau radang selaput otak. Karena itu kejadian epilepsi pada anak-anak lebih tinggi.
Selain itu, cedera di kepala janin akibat benturan fisik dan tumor, atau pun kelainan pembuluh darah pada otak juga bisa menyebabkan janin berpotensi mengidap epilepsi.
Meski banyak yang mengira epilepsi adalah masalah keturunan, namun menurut Lyna, hanya satu persen dari total penyandang epilepsi yang mendapatkannya akibat genetika.
Menurut dr Hardiono Pusponegoro, Sp.A, dari Divisi Saraf Anak Fakultas Kedokteran UI, sebagian besar kasus epilepsi tidak diketahui penyebabnya. Namun beberapa diantaranya dikarenakan gangguan otak seperti kelainan bawaan, trauma otak, infeksi, hingga kekurangan oksigen saat persalinan.
Seorang anak bisa disebut menderita epilepsi jika ia mengalami kejang spontan dua kali atau lebih tanpa sebab yang jelas. "Kejang ini disebabkan oleh aliran listrik berlebihan di otak yang muncul sebagai kejang,"
Namun ia menjelaskan, pada dasarnya epilepsi tidak menular dan tidak mengganggu kecerdasan anak. "Bila anak kejang lebih dari 15 menit memang bisa merusak otaknya. Namun biasanya kejang epilepsi hanya berlangsung tak lebih dari tiga menit," kata ahli tumbuh kembang ini.
Yang penting diketahui orangtua, epilepsi tidak selalu mengakibatkan kemunduran kecerdasan pada penderita. Anak juga bisa beraktivitas dengan normal seperti anak sehat lainnya asalkan tetap teratur mengonsumsi obat.
Bisa disembuhkan
Epilepsi pada anak-anak dapat disembuhkan dengan menjalani pengobatan rutin yang teratur, selama minimal dua tahun sejak kejang yang muncul terakhir. Penanganan yang benar dan rutin terbukti menaikkan tingkat kesembuhan pasien hingga di atas 80 persen.Irawan Mangunatmadja dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK-UI/RSCM melihat tingginya angka kejadian epilepsi pada anak, yaitu pada anak usia satu bulan sampai 16 tahun berkisar 40 kasus per 100.000. Penyebab epilepsi itu karena adanya infeksi virus, cedera kepala, gangguan pembuluh darah otak, dan cacat lahir.
"Bayi yang lahir dengan berat di bawah normal juga berisiko terkena gangguan ini," ujar Irawan.
Menurut Ketua Persatuan Penanggulangan Epilepsi Indonesia (Perpei), Lyna Soertidewi, gangguan kejang, perubahan perilaku dan hilangnya kesadaran dapat berlangsung menahun dan manifestasi serangannya berbeda-beda tergantung bagian fungsi otak yang terganggu.
Namun, epilepsi dapat diobati sehingga serangan dapat dikurangi bahkan dihilangkan. Ini dapat dicapai bila penderita mengikuti petunjuk dokter serta disiplin minum obat yang tujuannya menyeimbangkan kimiawi dalam otak yang memicu gangguan kelistrikannya.
Dr Saekhu menyebutkan, obat-obatan yang diberikan pada pasien epilepsi tidak langsung menyembuhkan epilepsi, tapi hanya bersifat mengendalikan atau menjarangkan serangan, bahkan menghilangkannya.
"Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah bebas kejang."
Seorang penyandang epilepsi, katanya, umumnya memerlukan obat sampai tidak dijumpai lagi serangan dalam jarak waktu tertentu, tergantung dari tipe epilepsi, riwayat epilepsi masa lalu, dan hasil rekaman listrik otak.
Sementara itu tindakan operasi bisa dilakukan jika pengobatan yang diberikan pada pasien tidak mengurangi keluhan epilepsi. "Di RSCM, tindakan operasi bisa dilakukan jika pemeriksaan MRI menunjukkan ada glioma atau jenis tumor jinak," ujar dr.Hanafi. sambil menambahkan bahwa meski sudah dioperasi, pasien epilepsi tetap wajib mengonsumsi obat anti-kejang.
Sekjen Perpei, M Hakim mengingatkan agar penderita epilepsi mewaspadai konsumsi obat-obatan herbal karena berpotensi meningkatkan risiko kekambuhan.
Peringatan ini diperkuat oleh sejumlah peneliti dari Jerman yang menulis dalam Journal of Natural Products, bahwa herbal, terutama yang mengandung ginko biloba, akan memicu timbulnya serangan epilepsi. Mereka meyakini herbal itu memiliki "efek merusak".
Obat herbal ginko biloba yang dibuat dari ekstrak daun pohon ginko biloba banyak dipakai konsumen di negara Eropa untuk menghilangkan berbagai keluhan, mulai dari depresi, meningkatkan daya ingat, sakit kepala, hingga pening.
Dalam risetnya, para peneliti dari University of Bonn, Jerman, memusatkan perhatian pada senyawa kimia dalam ginko biloba yang disebut ginkgotoxin. Berbagai bukti menunjukkan, zat kimia tersebut memicu sinyal kimia dalam tubuh yang terkait dengan serangan epilepsi.
Meski para peneliti tidak bisa membuktikan dengan nyata bahwa obat herbal mungkin meningkatkan risiko kekambuhan, pasien diminta tetap berhati-hati dalam mengonsumsi ginko biloba. Produsen pembuat obat herbal juga disarankan untuk mengurangi kadar toksin dari bahan-bahan herbal
Epilepsi bukanlah penyakit menular atau keturunan. Juga bukan akibat kemasukan roh jahat, kesurupan, diguna-guna, atau bahkan kutukan seperti mitos yang bekembang di masyarakat. Penyakit ini bisa disembuhkan, asalkan pengobatan dilakukan dengan tepat, teratur dan disiplin.
(T.Z002/Z002)