Polda Bali menyatakan tersangka dokter gigi I Ketut Arik Wiantara (53) yang diduga membuka praktik aborsi ilegal tidak terdaftar sebagai anggota organisasi profesi Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI).
Kepala Sub Direktorat V Tindak Pidana Siber Ditreskrimsus Polda Bali AKBP Nanang Prihasmoko di Kuta, Kabupaten Badung, Bali, Jumat, mengatakan penyidik Ditreskrimsus Polda Bali telah berkoordinasi dengan organisasi profesi dokter gigi PDGI di Bali.
"Setelah kami koordinasikan dengan Persatuan Dokter Gigi Indonesia, mereka menyampaikan bahwa dokter Arik ini memang lulusan dokter gigi di salah satu universitas dan mempunyai gelar tersebut," kata Nanang.
Namun, lanjutnya, Arik tidak memenuhi persyaratan untuk bergabung dengan PDGI dan tidak mengurus surat tanda registrasi sebagai dokter, sehingga dia tidak dianggap sebagai bagian dari komunitas profesi dokter gigi di Indonesia.
"PDGI wilayah Bali sudah mengeluarkan pernyataan sikap bahwa dokter Arik memang dokter gigi di wilayah Bali akan tetapi tidak masuk PDGI karena tidak tercatat di registrasi," kata Nanang.
Dia menambahkan berdasarkan keterangan yang diperoleh penyidik, tersangka tidak menempuh pendidikan lain selain dokter gigi, apalagi sebagai dokter kandungan maupun dokter bedah.
Pengetahuan dan keterampilan yang dilakukan tersangka Arik dalam melakukan praktik aborsi ilegal itu merupakan hasil pembelajarannya secara autodidak dari internet.
Setelah mengetahui teknik aborsi bagi wanita hamil, tersangka Arik pun langsung membuka praktik ilegal itu di rumahnya di Gang Bajangan, Jalan Raya Padang Luwih, Kelurahan Dalung, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali.
Arik pun pernah dua kali menjalani hukuman sebagai narapidana praktik aborsi ilegal pada 2006 dan 2009.
Pada tahun 2006, Arik ditangkap polisi dan divonis penjara selama 2,5 tahun berdasarkan vonis hakim di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar. Setelah bebas, Arik kembali melakukan tindakan kejahatan serupa sehingga dia ditangkap untuk kedua kalinya pada 2009 dan dipenjara selama enam tahun.
Menurut keterangan tersangka Arik kepada polisi, Nanang mengatakan sebenarnya dokter gigi itu tidak ingin kembali melakukan praktik aborsi ilegal.
Namun, Arik beralasan ada banyak permintaan dari pasien yang rata-rata masih berusia sekolah, sehingga dia tergoda untuk kembali melakukan tindak kejahatan itu.
"Dalam hal aborsi, sebenarnya setelah dua kali ia ditangkap, yang ketiga ini sebenarnya dia sudah tidak mau; tetapi banyak yang memaksa dari orang-orang tersebut untuk melakukan aborsi, kemudian dia membantu anak-anak yang masih muda, makanya dilakukan aborsi," jelas Nanang.
Sejak tahun 2020 sampai 2023, tersangka Arik mengaku telah melakukan aborsi ilegal terhadap 20 wanita. Sebelumnya, Ditreskrimsus Polda Bali menemukan 1.338 daftar nama pasien yang tercatat dalam buku kunjungan konsultasi kepada Arik.
"Kami menemukan di buku registrasi itu ada 1.388 daftar nama, terdiri atas laki-laki dan perempuan. Kami cross cheque (cek silang) kepada tersangka bahwa itu ada pasien khusus jerawat, kemudian ada yang konsultasi saja, ada yang panas dingin, dia bantu kontrol," kata Nanang.
Namun demikian, penyidik terus menggali informasi dari pelaku dan melakukan penelusuran terkait identitas pasien yang terdaftar dalam buku registrasi tersebut.
Setelah ditelusuri, penyidik menemukan bahwa banyak nama tidak dapat ditemukan karena identitas yang tercantum dalam buku tersebut tidak sesuai KTP.
"Nama-nama itu kebanyakan inisial, bukan asli, sehingga tidak sesuai KTP. Itu yang jadi hambatan," ujar Nanang.
Tantangan lain yang dihadapi penyidik dalam mengembangkan kasus tersebut ialah tersangka Arik tidak mau terbuka menyampaikan keterangan tentang praktik ilegal tersebut.
Kepala Sub Direktorat V Tindak Pidana Siber Ditreskrimsus Polda Bali AKBP Nanang Prihasmoko di Kuta, Kabupaten Badung, Bali, Jumat, mengatakan penyidik Ditreskrimsus Polda Bali telah berkoordinasi dengan organisasi profesi dokter gigi PDGI di Bali.
"Setelah kami koordinasikan dengan Persatuan Dokter Gigi Indonesia, mereka menyampaikan bahwa dokter Arik ini memang lulusan dokter gigi di salah satu universitas dan mempunyai gelar tersebut," kata Nanang.
Namun, lanjutnya, Arik tidak memenuhi persyaratan untuk bergabung dengan PDGI dan tidak mengurus surat tanda registrasi sebagai dokter, sehingga dia tidak dianggap sebagai bagian dari komunitas profesi dokter gigi di Indonesia.
"PDGI wilayah Bali sudah mengeluarkan pernyataan sikap bahwa dokter Arik memang dokter gigi di wilayah Bali akan tetapi tidak masuk PDGI karena tidak tercatat di registrasi," kata Nanang.
Dia menambahkan berdasarkan keterangan yang diperoleh penyidik, tersangka tidak menempuh pendidikan lain selain dokter gigi, apalagi sebagai dokter kandungan maupun dokter bedah.
Pengetahuan dan keterampilan yang dilakukan tersangka Arik dalam melakukan praktik aborsi ilegal itu merupakan hasil pembelajarannya secara autodidak dari internet.
Setelah mengetahui teknik aborsi bagi wanita hamil, tersangka Arik pun langsung membuka praktik ilegal itu di rumahnya di Gang Bajangan, Jalan Raya Padang Luwih, Kelurahan Dalung, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali.
Arik pun pernah dua kali menjalani hukuman sebagai narapidana praktik aborsi ilegal pada 2006 dan 2009.
Pada tahun 2006, Arik ditangkap polisi dan divonis penjara selama 2,5 tahun berdasarkan vonis hakim di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar. Setelah bebas, Arik kembali melakukan tindakan kejahatan serupa sehingga dia ditangkap untuk kedua kalinya pada 2009 dan dipenjara selama enam tahun.
Menurut keterangan tersangka Arik kepada polisi, Nanang mengatakan sebenarnya dokter gigi itu tidak ingin kembali melakukan praktik aborsi ilegal.
Namun, Arik beralasan ada banyak permintaan dari pasien yang rata-rata masih berusia sekolah, sehingga dia tergoda untuk kembali melakukan tindak kejahatan itu.
"Dalam hal aborsi, sebenarnya setelah dua kali ia ditangkap, yang ketiga ini sebenarnya dia sudah tidak mau; tetapi banyak yang memaksa dari orang-orang tersebut untuk melakukan aborsi, kemudian dia membantu anak-anak yang masih muda, makanya dilakukan aborsi," jelas Nanang.
Sejak tahun 2020 sampai 2023, tersangka Arik mengaku telah melakukan aborsi ilegal terhadap 20 wanita. Sebelumnya, Ditreskrimsus Polda Bali menemukan 1.338 daftar nama pasien yang tercatat dalam buku kunjungan konsultasi kepada Arik.
"Kami menemukan di buku registrasi itu ada 1.388 daftar nama, terdiri atas laki-laki dan perempuan. Kami cross cheque (cek silang) kepada tersangka bahwa itu ada pasien khusus jerawat, kemudian ada yang konsultasi saja, ada yang panas dingin, dia bantu kontrol," kata Nanang.
Namun demikian, penyidik terus menggali informasi dari pelaku dan melakukan penelusuran terkait identitas pasien yang terdaftar dalam buku registrasi tersebut.
Setelah ditelusuri, penyidik menemukan bahwa banyak nama tidak dapat ditemukan karena identitas yang tercantum dalam buku tersebut tidak sesuai KTP.
"Nama-nama itu kebanyakan inisial, bukan asli, sehingga tidak sesuai KTP. Itu yang jadi hambatan," ujar Nanang.
Tantangan lain yang dihadapi penyidik dalam mengembangkan kasus tersebut ialah tersangka Arik tidak mau terbuka menyampaikan keterangan tentang praktik ilegal tersebut.