Bengkulu (Antar) - Pemerintah Provinsi Bengkulu bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) siap menggelar "Simposium Internasional Rafflesia dan Amorphopallus" pada 14 September hingga 16 September 2015 di Kota Bengkulu.
"Persiapan sudah 99 persen, tinggal lagi menunggu konfirmasi peserta," kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Bengkulu Iriansyah di Bengkulu, Senin.
Ia mengatakan simposium tersebut akan diikuti peserta yang berasal dari negara asing, terutama pemilik hutan tropis.
Sebelum pelaksanaan simposium tersebut, Balitbang bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta LIPI sudah menyusun rencana strategis perlindungan puspa langka, terutama bunga rafflesia dan amorphopallus.
Bengkulu sebagai salah satu "rumah" puspa langka rafflesia dan amorphopallus menurut dia terpilih sebagai tuan rumah simposium bertaraf internasional itu.
Sejarah Provinsi Bengkulu tercatat dalam dunia botani sejak Thomas Stamford Raffles bersama Joseph Arnold menggelar ekspedisi botani di hutan Sumatera di Bengkulu pada 1818.
Nama Thomas Raffles diabadikan dalam bunga yang kini menjadi maskot Provinsi Bengkulu, "Rafflesia arnoldii".
Simposium tersebut kata dia akan membahas tentang potensi keanekaragaman hayati dan kebijakan pembangunan yang berkelanjutan sekaligus melindungi aset-aset keragaman flora-fauna di daerah ini.
Keunikan bunga rafflesia dan amorphophallus hingga kini masih dapat diandalkan sebagai objek berdaya tarik bagi dunia ilmu pengetahuan maupun pariwisata.
Peneliti rafflesia dari LIPI Sofi Mursidawati mengatakan hingga saat ini dipastikan para pembicara dalam simposium tersebut merupakan para pakar botani dari enam negara.
"Belum seluruhnya konformasi kehadiran, tapi dipastikan enam orang pemateri dalam simposium berasal dari enam negara," ucapnya.
Kegiatan utama selama tiga hari tersebut menurut Sofi, mengkaji berbagai kegiatan penelitian maupun kegiatan konservasi rafflesia dan amorphophallus baik yang dilakukan peneliti peneliti ataupun praktisi di seluruh dunia.
Kegiatan pengkajian tersebut dilakukan dalam bentuk diskusi dengan nara sumber para pakar yang berasal dari berbagai institusi di seluruh dunia yang diperkirakan berasal dari 10 negara di Asia, Eropa dan Amerika.
"Ditargetkan jumlah peserta 150 hingga 200 orang dan seluruh kegiatan dilaksanakan dengan bahasa Inggris sebagai pengantar," katanya.***3***