Jakarta (ANTARA) - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan upaya yang dilakukan untuk menekan biaya impor energi sebesar Rp500 triliun per tahun, di antaranya dengan mengoptimalkan sumur-sumur minyak yang ada.
Bahlil dalam kegiatan Repnas National Conference & Awarding Night, di Jakarta, Senin, mengatakan karena lifting atau produksi terangkut minyak mentah di Indonesia terus merosot, Indonesia harus menghabiskan devisa senilai Rp500 triliun per tahun hanya untuk mengimpor minyak mentah dari luar negeri.
"Jadi, bagaimana caranya untuk kita menuju kepada kedaulatan energi? Menekan lifting dengan tiga pola," kata Bahlil.
Ia menerangkan, pola pertama yang dapat dilakukan untuk meningkatkan lifting minyak, pertama sumur-sumur minyak yang menganggur (idle) harus diaktifkan kembali.
Kementerian ESDM mencatat, terdapat sekitar 44.900 sumur minyak di Indonesia, dengan 16.600 di antaranya dalam kondisi idle. Dari jumlah tersebut, sekitar 5.000 sumur dapat dioptimalkan untuk meningkatkan produksi minyak nasional.
Kemudian, langkah langkah kedua yakni, sumur yang berjalan atau aktif harus diintervensi dengan teknologi agar meningkatkan kapasitas.
Selanjutnya, upaya ketiga yang berikut harus dilakukan adalah bagaimana mempercepat eksplorasi.
"Memang kita harus melakukan apa yang disebut dengan eksplorasi. Nah eksplorasi ini sudah banyak di wilayah-wilayah Timur, dan ini cost-nya tinggi sekali dan butuh waktu cepat," kata Bahlil.
Untuk mendukung hal itu, Bahlil mengaku bahwa pihaknya akan segera memangkas berbagai regulasi yang menghambat proses akselerasi dari pada eksplorasi. Hal itu dilakukan untuk menarik investor.
"Dari 320 izin sekarang tinggal 140 izin, kita akan pangkas lagi, kita akan perpendek dengan waktu yang tepat, supaya apa? Investor bisa masuk Kalau tidak ada tawaran yang lebih kompetitif dibandingkan dengan negara-negara yang lain, bagaimana investor bisa masuk," ujarnya pula.
Bahlil juga mengatakan bahwa pemerintah saat ini maupun Presiden Terpilih Prabowo Subianto juga mendorong adanya peralihan penggunaan bahan bakar kendaraan dari fosil ke energi baru terbarukan. Hal itu, diimplementasikan melalui penggunaan kendaraan listrik
"Kalau ini mampu kita lakukan, kemudian kita geser sebagian untuk menuju kepada energi baru terbarukan dengan mengoptimalkan mobil-mobil listrik dan motor listrik, ini adalah bagian dari kedaulatan energi, jika ini kita mampu lakukan insya Allah clear," ujarnya lagi.
Sebelumnya, Bahlil menyoroti biaya impor energi yang cukup besar mencapai Rp500 triliun per tahun.
Hal itu terjadi akibat kinerja sektor minyak dan gas bumi yang terus merosot, yang juga berdampak pada nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
"Lifting kita turun, itu kita tekor terus, setiap tahun kita itu menghabiskan devisa kita Rp500 triliun, makanya nilai tukar dolar AS kita terhadap rupiah agak sedikit, maju-mundur, maju-mundur. Bayangkan salah satu sumber kebutuhan terbesar itu adalah untuk membeli energi," kata Bahlil.
Bahlil mengungkapkan bahwa pada tahun 1996 dan 1997, Indonesia mampu memproduksi 1.000.600 barel minyak per hari, yang memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan negara, karena mampu mengekspor hingga 1 juta barel. Namun, pasca-reformasi, produksi minyak terus mengalami penurunan.
Saat ini, produksi minyak nasional tinggal 600.000 barel per hari, sementara konsumsi mencapai 1.000.600 barel per hari. Hal ini menyebabkan Indonesia harus mengimpor sekitar 900 ribu hingga 1 juta barel minyak per hari.
Bahlil menekankan bahwa perubahan yang terjadi dari ekspor menjadi impor dengan jumlah yang sama merupakan masalah serius yang harus diatasi.