Seminyak-Denpasar (Antarabengkulu.com) - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan International Federation of Journalists (IFJ), sebuah organisasi jurnalis Internasional, membekali jurnalis sejumlah daerah tentang keselamatan dalam peliputan.
"Ini penting dilakukan untuk memberikan pengetahuan dan pengalaman bagi para jurnalis dalam melakukan liputan dan menghadapi ancaman kekerasan," kata Ketua Umum AJI Indonesia Suwarjono di Senyimak, Kuta, Denpasar, Kamis.
Dia menegaskan pelatihan ini sangat penting, karena kasus kekerasan sebagian besar disebabkan jurnalis yang tidak bisa menempatkan diri ketika melakukan peliputan konflik berbasis isu suku, agama, ras dan antargolongan serta liputan pilkada dan idiologi.
"Apalagi saat ini adalah momen pilkada serentak, itu sebabnya para jurnalis juga harus mempesiapkan diri. Hampir menjelang pilkada semua daerah memanas, awal tahun 2017 akan ada pilkada serentak biasanya berpotensi terjadi gesekan. Kalau tidak profesional melakukan liputan bisa digerudug oleh massa," katanya di sela-sela pelaksanaan pelatihan tersebut.
Menurutnya, jumlah kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia juga cukup banyak dan terjadi dengan berbagai bentuk, mulai dari kekerasan fisik, psikis sampai perusakan dan perampasan alat kerja. "Masing-masing kota memiliki persoalan berbeda-beda," katanya.
Sejak awal 2016 hingga kini, IFJ mencatat ada sebanyak 107 orang jurnalis telah dibunuh di berbagai belahan dunia dan lebih dari 90 persen adalah jurnalis lokal.
Hal ini mengindikasikan adanya krisis terhadap keamanan jurnalis itu sendiri.
Perlindungan bagi jurnalis masih lemah, begitu juga dengan penindakan untuk keadilan terhadap pelaku kekerasan.
Berdasarkan data dari UNESCO, kurang dari satu dalam setiap 10 kasus pembunuhan jurnalis yang sampai ke pengadilan dan 92 persen insiden yang menggunakan kekerasan untuk menekan kebebasan pers dan berekspresi tidak ditindaklanjuti.
Kondisi-kondisi tersebut mengingatkan kepada berbagai kalangan mengenai pentingnya mekanisme yang menjamin keamanan jurnalis dalam bekerja.
Sejak Juni 2016 hingga Desember 2017, International Media Support (IMS) dan IFJ sedang mengumpulkan berbagai model yang menjadi pedoman keamanan bagi jurnalis di berbagai wilayah seperti Colombia, Philippines, Pakistan, Indonesia, Irak, Afganistan, dan Nepal.
Salah seorang mentor dalam pelatihan itu Nick Isack menyebutkan, tahun ini sudah terdapat 68 orang jurnalis di seluruh dunia meninggal dan sekitar 179 jurnalis dipenjara.
Adapun jumlah jurnalis di seluruh dunia yang meninggal sejak 2006 tercatat mencapai 700 orang karena berbagai sebab seperti perang, pembunuhan dan kekerasan.
Dari jumlah tersebut, 35 persen di antaranya merupakan korban saat meliput kasus kejahatan, korupsi dan 95 persen merupakan jurnalis lokal. "Sayangnya dari seluruh kejadian yang menyebabkan jurnalis meninggal tersebut, hanya sekitar 6,6 persen yang pelakunya diproses hukum," katanya.
Melihat kondisi itulah, penting bagi jurnalis untuk memiliki bekal kemampuan menghadapi situasi khususnya di daerah yang rawan konflik.
"Jadi pekerjaan apapun punya risiko tetapi khusus jurnalis di tempat tertentu memiliki risiko jauh lebih tinggi dari profesi dan pekerjaan lainnya," katanya.
Dari statistik data sebenarnya kata dia, belum mencerminkan secara keseluruhan termasuk kekerasan lain di tempat yang berbeda. Namun demikian, jurnalis tetapi harus dipersiapkan mental untuk mengurangi dampak di masa depan.
Mantan pasukan Khusus Australia itu mengatakan, setiap potensi kekerasan yang akan dihadapi oleh jurnalis saat meliput memang berbeda dan oleh karenanya setiap jurnalis harus memiliki kemampuan untuk menangkal, menghindar dan menyelamatkan diri dari amuk massa.
"Ini penting agar tidak terjadi korban terhadap jurnalis itu saat melakukan peliputan," katanya.
Pelatihan diikuti jurnalis dari Denpasar, Makassar, Palu, Kupang dan Papua dengan materi pelatihan terkait bagaimana mempersiapkan diri meliput di daerah konflik, perlindungan diri, serta menghindari risiko seperti penculikan, kekerasan serta melindungi data digital.