Ponorogo, Jatim (ANTARA) - Langkah Nenek Misringah tertatih-tatih, suara lirihnya nyaris tak terdengar, tenggelam di antara desir angin sore yang meniup halaman rumahnya di Desa Gandukepuh, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.
Di usianya yang telah menginjak 90 tahun, Nenek Misringah menjadi calon jamaah haji (CJH) tertua di Kabupaten Ponorogo tahun ini.
Meski gerak tubuhnya sudah melamban, sorot mata Nenek Misringah masih menyiratkan semangat yang tak pernah padam. Di usia senjanya, perempuan kelahiran 1935 itu nampak sangat antusias mempersiapkan diri untuk menunaikan rukun Islam kelima, yakni ibadah haji ke Tanah Suci Mekkah.
Nenek Misringah mengaku sudah tidak sabar untuk menunaikan rukun Islam kelima tersebut. Meskipun untuk berjalan sehari-hari ia harus menggunakan tongkat sebagai penyangga tubuhnya, tekadnya yang kuat untuk menginjakkan kaki di Tanah Suci membuatnya tetap bersemangat dan tabah.
"Saya senang sekali... Doakan semoga sehat dan selamat sampai pulang," ucapnya lirih. Tangannya menggenggam tongkat kayu yang setia menopang tubuh rapuhnya, menegaskan kesiapannya untuk menjadi tamu Allah di tanah suci.
Dari Kebun Asam ke Baitullah
Perjalanan spiritual Nenek Misringah adalah kisah keteguhan hati yang lahir dari kehidupan sederhana.
Puluhan tahun ia menghidupi dirinya dan ketujuh anaknya dengan menjadi buruh serabutan, mulai dari mencabut rumput, membantu panen, hingga memungut buah asam Jawa yang gugur di tanah kebun milik orang.
"Mbah ini dulunya pekerjaannya memungut asam jawa di kebun, kemudian dijual dan uangnya dikumpulkan sedikit demi sedikit," kata Mujiati (49), anak bungsu Nenek Misringah.
Uang hasil dari menjual asam dikumpulkan Nenek Misringah sedikit demi sedikit. Setelah terkumpul, sebagian dibelikan perhiasan emas. Bukan untuk bergaya, melainkan sebagai bentuk tabungan jangka panjang.
"Sejak muda mbah sudah tekun menabung. Mbah itu hematnya luar biasa," kata Mujiati dengan nada bangga.
Pada 2019, Nenek Misringah menyampaikan keinginan berhaji kepada anak-anaknya. Ia merasa sudah cukup waktu menyimpan niat itu, dan tiba waktunya untuk menyempurnakan rukun Islam.
Uang hasil jualan asam jawa yang dibelikan perhiasan emas kemudian dijual untuk mendaftar haji, lalu kekurangan biayanya ditutupi oleh anak-anaknya.
"Kami sempat kaget. Tapi akhirnya sepakat menjual emas milik Mbah untuk daftar. Kekurangannya kami patungan untuk mencukupi," ujar Mujiati, yang sekaligus akan mendampingi ibunya selama berhaji sebagai jemaah haji Ponorogo kloter pertama.
Disiapkan Petugas Khusus
Pihak Kementerian Agama Kabupaten Ponorogo menyebutkan, keberangkatan Nenek Misringah menjadi perhatian khusus dalam musim haji tahun ini.
Mengingat usianya yang telah memasuki kepala sembilan, sejumlah petugas kesehatan haji dan pembimbing ibadah telah menyiapkan langkah antisipatif.
"Kami sudah mengidentifikasi jemaah lansia termasuk Nenek Misringah. Nantinya akan ada pendampingan intensif, termasuk kursi roda, pengaturan istirahat, dan pengawasan kesehatan selama di asrama maupun saat di Arab Saudi," kata Kasi Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag Ponorogo, Imam Ma’ruf.
Bahkan, dalam sistem keberangkatan, lansia ekstrem seperti Misringah diprioritaskan mendapatkan fasilitas haji ramah lansia, termasuk pengaturan pemondokan yang dekat dengan Masjidil Haram serta layanan khusus saat prosesi wukuf di Arafah.
"Calon jemaah usia lanjut yang memiliki pendamping, seperti Bu Misringah, akan kami satukan dalam satu rombongan. Petugas haji akan memantau langsung," ujar Imam.
Selain itu, petugas kloter dan tenaga kesehatan haji Indonesia (TKHI) juga telah menerima pembekalan untuk menghadapi situasi darurat, termasuk upaya evakuasi cepat bila lansia mengalami kelelahan ekstrem atau gangguan kesehatan mendadak.
Doa Ibu, Gotong Royong Anak
Mujiati sendiri mengaku telah menyiapkan diri lahir batin untuk mendampingi sang ibu. Ia menyadari, fisik ibunya sudah tak sekuat dulu. Tapi semangat yang terpancar dari raut wajah ibunya menjadi sumber kekuatan tersendiri.
"Setiap malam, Ibu salat Tahajud. Katanya mendoakan supaya diberi umur panjang sampai pulang dari Makkah," ucap Mujiati, lirih.
Sejak enam bulan terakhir, keluarga melarang Misringah bekerja di kebun. Semua pekerjaan rumah diambil alih oleh anak-anaknya.
Ia diminta lebih banyak istirahat dan menjaga pola makan. Bahkan, Mujiati mengaku rutin memijat tubuh ibunya sebelum tidur agar tidak pegal dan tetap rileks.
"Nanti kalau capek di pesawat atau saat tawaf, saya yang gendong. Pokoknya kami sudah siap," ujarnya sembari tersenyum.
Bagi Misringah, naik pesawat adalah pengalaman pertama dalam hidupnya. Namun, ia mengaku tidak takut.
"Ndak takut. Yang penting niatnya baik, dan berangkat dengan doa," katanya sambil tersenyum kecil, wajahnya berpendar antara haru dan bahagia.
Jadwal keberangkatannya ke Asrama Haji Embarkasi Surabaya (AHES) ditetapkan pada 16 Mei 2025.
Selama 40 hari ke depan, ia akan melintasi ribuan kilometer dari Ponorogo ke Tanah Suci, sebuah perjalanan yang ia bangun dari doa, kerja keras, dan segenggam keyakinan.
Mimpi bertamu di rumah Tuhan (Baitullah) menjadi asa di penghujung hidupnya yang tak pernah padam. Cintanya kepada Allah melebihi kuatnya tulang menopang tubuhnya yang kian rapuh.
Di dalam tubuh yang kian melemah, tekad Misringah justru menguat. Ia menjadi simbol keteguhan, bahwa ikhtiar tidak mengenal batas usia.
Nenek Misringah membuktikan bahwa cita-cita spiritual bisa tumbuh dari akar kehidupan paling sederhana, dari pundi-pundi rupiah hasil memungut asam Jawa .