Jakarta (Antara) - Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad meminta KPK untuk menerapkan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terhadap tersangka kasus korupsi KTP-e Setya Novanto.
"KPK harus lebih garang lagi dalam menghadapi kasus KTP-e ini. Artinya, lebih garang lagi bahwa KPK harus menerapkan Undang-Undang TPPU dalam kasus Novanto," kata Samad di gedung KPK, Jakarta, Senin.
Menurut Samad, tujuan diterapkannya TPPU terhadap Novanto itu agar kerugian negara sekitar Rp2,3 triliun dari proyek KTP-e bisa dimaksimalkan pengembaliannya.
"Kemudian yang kedua, kalau menggunakan Undang-Undang TPPU maka itu bisa terlihat nanti siapa-siapa saja yang bertindak sebagai penampung uang-uang dari hasil korupsi itu," ungkap Samad.
Selanjutnya, kata Samad, dengan menggunakan Undang-Undang TPPU, KPK juga bisa lebih mudah melakukan pencarian siapa-siapa saja yang terlibat di dalam kasus KTP-e tersebut secara gamblang.
"Dan ini presedennya sudah ada. Waktu kami pimpinan jilid tiga lalu itu selalu menggunakan Undang-Undnag TPPU agar supaya kami bisa memaksimalkan pengembalian kerugian negara yang sudah hilang, intinya itu," ujar Samad.
Samad pun menyatakan bahwa KPK berpacu dengan waktu untuk sesegera mungkin menyelesaikan kasus Novanto tersebut agar tidak lama lagi bisa dilimpahkan ke pengadilan.
"Memang ada masalah, masalah di KPK adalah keterbasan SDM penyidiknya. Tetapi saya yakin KPK pasti punya strategi-strategi lain yang bisa menyelesaikan kasus ini secara cepat kerena KPK harus berpacu dengan waktu," tuturnya.
Setya Novanto ditetapkan kembali menjadi tersangka kasus korupsi KTP-e pada Jumat (10/11).
Setya Novanto selaku anggota DPR RI periode 2009-2014 bersama-sama dengan Anang Sugiana Sudihardjono, Andi Agustinus alias Andi Narogong, Irman selaku Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri dan Sugiharto selaku Pejabat Pembuat Komitment (PPK) Dirjen Dukcapil Kemendagri dan kawan-kawan diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu koporasi, menyalahggunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan sehingga diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara atas perekonomian negara sekurangnya Rp2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp5,9 triliun dalam pengadaan paket penerapan KTP-e 2011-2012 Kemendagri.
Setya Novanto disangkakan pasal 2 ayat 1 subsider pasal 3 UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP atas nama tersangka.
Sebelumnya, Setya Novanro juga pernah ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus proyek KPK-e pada 17 Juli 2017 lalu.
Namun, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui Hakim Tunggal Cepi Iskandar pada 29 September 2017 mengabulkan gugatan praperadilan Setya Novanto sehingga menyatakan bahwa penetapannya sebagai tersangka tidak sesuai prosedur.***2***