Bengkulu (ANTARA) - Aktivis lingkungan mengingatkan Pemerintah Provinsi Bengkulu bahwa rencana pengalihan status 53 ribu hektare hutan menjadi kawasan non-hutan membawa risiko bencana banjir dan tanah longsor.
"Pemerintah tidak belajar dari kejadian bencana banjir dan longsor pada April yang merenggut puluhan nyawa, itu cermin dari hancurnya bentang alam kita," kata Koordinator Aliansi Lingkar Hijau Lebong Nurkholis Sastro di Bengkulu, Rabu.
Baca juga: Yang tersisa dari banjir dan longsor Benteng
Ia mengatakan rencana pemerintah daerah mengalihfungsikan kawasan hutan akan mengganggu kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) dan meningkatkan kerawanan bencana.
Seharusnya, kata Sastro, bencana banjir dan tanah longsor pada April 2019 menjadi pelajaran bagi pemerintah daerah untuk mengelola alam dengan bijak.
Banjir dan tanah longsor yang melanda delapan wilayah kabupaten dan kota di Bengkulu pada April 2019 mengakibatkan 26 korban jiwa dan menimbulkan kerugian material Rp144 miliar.
Bencana itu menyebabkan 554 rumah rusak berat, 160 rumah rusak sedang, dan 636 rumah rusak ringan atau tergenang. Bencana juga mengakibatkan tujuh sekolah rusak berat, 32 ruas jalan rusak berat, 34 jembatan rusak berat, 208 sapi/kerbau mati, 150 kambing/domba hilang, serta berdampak pada 2.648 hektare sawah dan 221 hektare kebun.
Baca juga: Walhi berharap cagub berkomitmen lestarikan lingkungan
Kepentingan Korporasi
Para pegiat lingkungan menduga rencana alih fungsi kawasan hutan Bengkulu berkaitan dengan kepentingan korporasi pertambangan dan perkebunan.
"Sekali lagi kita tidak belajar dari kejadian akhir April 2019 lalu. Eksploitasi lingkungan masih menjadi sumber atau modal untuk politik praktis," kata Sastro.
Sebelumnya Direktur Yayasan Genesis Bengkulu Uli Siagian mengatakan rencana pelepasan 53 ribu hektare kawasan hutan yang tersebar di sembilan kabupaten dan kota di Bengkulu disinyalir untuk mengakomodir kepentingan pengusaha pertambangan dan perkebunan.
"Kami menganalisis beberapa data dan peta usulan pelepasan kawasan hutan itu di mana sebagian besar sudah dibebani izin pertambangan dan HGU perkebunan," kata Uli.
Baca juga: Kian kritis, DAS Air Bengkulu harus diperbaiki
Sementara itu, menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Bengkulu Sorjum Ahyar, perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dilakukan untuk memenuhi tuntutan pembangunan serta aspirasi masyarakat dengan tetap berlandaskan pada optimalisasi distribusi fungsi dan manfaat kawasan hutan secara lestari dan berkelanjutan.
Menurut dia, perubahan fungsi kawasan hutan dilakukan berdasarkan usul dari para bupati dan wali kota yang telah disampaikan ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Usul perubahan peruntukan dan fungsi sekitar 53 ribu hektare kawasan hutan di Bengkulu antara lain mencakup perubahan fungsi sekitar 2.067 hektare kawasan hutan dari Cagar Alam menjadi Taman Wisata Alam (TWA) dan perubahan fungsi 7.271 hektare kawasan hutan Taman Buru (TB) menjadi TWA.
Usul itu juga meliputi perubahan fungsi 2.191 hektare Hutan Produksi Terbatas (HPT) menjadi TWA, perubahan fungsi sekitar 3.450 hektare kawasan Hutan Lindung menjadi TWA, dan perubahan fungsi 246 hektare kawasan hutan dari TWA PLG Seblat menjadi Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK).
Baca juga: Air napal Benteng kembali banjir, warga mengungsi
Aktivis ingatkan risiko alih fungsi kawasan hutan di Bengkulu
Rabu, 3 Juli 2019 12:47 WIB 1564