Bengkulu (ANTARA Bengkulu) - Kecurigaan pemerintah terhadap munculnya disintegrasi dari beberapa wilayah di Indonesia dinilai telah mengorbankan masyarakat adat.
Hal itu mengemuka dalam seminar Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlinduangan Hak-hak Masyarakat Adat yang digelar Pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu, Kamis.
"Negara dan pemerintah selalu curiga akan muncul disintegrasi jika diberi ruang bagi masyarakat adat," kata Direktur Yayasan Akar, Erwin Basrin.
Untuk mencegah hal itu, pemerintah melakukan penetrasi modal secara masif di wilayah masyarakat adat yang sebagian besar mendapat penolakan.
Tokoh masyarakat adat Lembak Usman Yasin mengatakan kecurigaan dan kekhawatiran akan disintegrasi kemungkinan besar muncul dari persepsi hak masyarakat adat.
"Masyarakat adat berhak menjalankan pemerintah sendiri dan hak mengatur dan mengurus warga serta lingkungan," katanya.
Dalam penjelasan umum RUU tersebut, jelas dia, menggunakan istilah masyarakat adat, bukan masyarakat hukum adat sebab terdapat empat syarat masyarakat adat.
Empat syarat tersebut yakni pertama memiliki sejarah kerajaan, pemerintah, asal usul, hukum adat, kedua memiliki wilayah yang jelas dimana hal ini semakin kabur setelah terbitnya UU Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintah Desa.
Selanjutnya memiliki kebudayaan fisik maupun nonfisik dan memiliki bahasa dimana saat ini sebagian sudah punah.
Anggota Komisi I DPRD Provinsi Bengkulu Junaidi Albab yang juga hadir menjadi pemateri mengatakan kelembagaan adat dibutuhkan dalam upaya mengantisipasi dan melindungi nilai-nilai dan norma budaya masyarakat adat.
"Dengan begitu lembaga itu harus diakui dulu oleh negara dimana di Indonesia banyak beragam adat," katanya.
Ia juga mendukung pelembagaan berbentuk komisi nasional dan daerah yang ditawarkan dalam draf RUU PPHMA versi AMAN untuk memverifikasi masyarakat adat terutama dalam penyelesaian konflik yang dihadapi masyarakat adat.
Namun, menurutnya harus menjadi perhatian juga, sebab lembaga independen itu ditawarkan menggunakan dana APBN dan APBD sebab banyak komisi-komisi yang dibebankan kepada daerah dan pendanaan tidak optimal.
"Sebagai pembanding, KPID Bengkulu misalnya yang tidak berjalan secara maksimal karena anggaran yang tidak memadai," tambahnya.
Selain itu, pengakuan yuridis bagi eksistensi masyarakat adat menurutnya harus menjadi prioritas utama.
Sebab pengalaman mendampingi kasus masyarakat adat terkendala ketika negara tidak menganggap mereka sebagai subjek hukum.
Sedangkan Dosen Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, Yanto Supriadi mengatakan tindakan pemerintah terhadap masyarakat adat justru yang dapat memunculkan disintegrasi.
"Terjadi penghancuran secara masif dan terstruktur terhadap masyarakat adat, demikian juga dengan penguasaan sumber daya alam yang telah mereka pelihara ratusan tahun," katanya.
Menurutnya, untuk meredam bibit-bibit disintegrasi, justru negara harus mengakui hak-hak masyarakat adat yang banyak dikaburkan oleh kepentingan politik.
Ketua Pengurus AMAN Bengkulu Deff Tri Hamri mengatakan eksistensi masyarakat adat sudah ada jauh sebelum negara Indonesia berdiri.
"Saat ini masyarakat adat makin terancam dan terpinggirkan karena tanah-tanah mereka berubah menjadi perkebunan dan pertambangan," katanya.
Seminar tersebut kata dia untuk mencari masukan atas RUU perlindungan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat. (ANTARA)
Kecurigaan disintegrasi bangsa korbankan masyarakat adat
Kamis, 13 Desember 2012 17:46 WIB 2245
.....Saat ini masyarakat adat makin terancam dan terpinggirkan karena tanah-tanah mereka berubah menjadi perkebunan dan pertambangan.....