Jakarta (ANTARA Bengkulu) - Ulah Kaiser Pep Guardiola sungguh membuat sakit gigi media massa Inggris yang kerapkali melontarkan beragam komentar tanpa tedeng aling-aling. Mendamprat, mengejek, mencibir, bahkan mencemooh, demikian teater yang ada di kepala media massa di sana.
Seakan bersekongkol dengan media massanya, elite sepak bola Inggris terluka dengan kesediaan mantan pelatih Barcelona itu berlabuh di Bayern Munich selama tiga tahun (2013-2016). Sungguh, sang manajer berusia 42 tahun itu membuat sebagian orang di kolong langit ini sejenak menjadi "orang-orang gila" lantaran mereka lebih suka mengunyah penilaian-penilaiannya sendiri tanpa bersedia memahami dan mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi di planet bola.
"Orang gila" Guardiola, begitu agaknya rangkuman media massa dan elite sepak bola Inggris memberi predikat kepada pria parlente yang lahir pada 18 Januari 1971 di Santpedor, Spanyol. Guardiola diposisikan sebagai sosok yang wajib diperhatikan, dinilai, disalahkan bahkan diteror atas segala keputusannya itu.
Guardiola orang gila karena dia bersedia terbang ke Bundes Liga, bukan justru ke Liga Primer. Guardiola orang gila karena itu ia perlu dipenjara dengan lontaran kata-kata bernuansa tudingan sebagai sosok yang menghina klub-klub Liga Primer. Harian The Sun menulis, "Selamat tinggal, Pep! Guardiola menghina klub-klub Liga Primer dan bergabung dengan raksasa Bundesliga Bayern."
"Pep Guardiola, pelatih yang paling dicari dan diincar, akhirnya menangani Bayern di musim depan. Warta ini jelas-jelas pukulan telak bagi Chelsea dan Manchester City, karena kedua klub ini berharap dapat memboyong pelatih berusia 41 tahun itu ke Liga Primer" (The Times).
Media massa Spanyol tidak rela melihat Guardiola menjadi bulan-bulanan media Inggris. "Pilihan Guardiola membuat gaduh Inggris," tulis harian El Pais. Bahkan El Mundo Deportivo memberi gelaran Guardiola sebagai Kaiser.
Media massa Inggris boleh sewot, media massa Spanyol boleh pasang badan, tetapi harian Guardian menulis dengan denting kata-kata merasuk ulu hati, "Chelsea dan Roman Roman Abramovich tidak mampu membeli cinta Pep Guardiola".
Orang gila Guardiola. Sebagai pelatih ia mampu mengoleksi aneka gelar secara gila-gilaan. Kegilaan inilah yang membuat media massa Inggris menggunakan diskursus secara gila-gilaan.
Kalau Guardiola secara gila-gilaan menyabet berbagai gelar dengan menggunakan bahasa tanpa meletup-letup, maka media massa Inggris justru menggunakan bahasa secara meluap-luap. Bukankah salah satu manifestasi dari kegilaan, yakni menggunakan bahasa yang meluap-luap, karena segala apa yang terucap kerapkali berbeda dengan apa yang dipikirkan.
Sebagai pemimpin, orang gila Guardiola sebagai pelatih anyar Bayern Munich memiliki kemampuan untuk mengajar (teaching), berucap (saying) secara terang benderang, dan ia piawai melihat dan mengamati (seeing). Inilah dasar dari kekuatan Guardiola memimpin Barcelona, dan dasar ia melangkah ke Bundes Liga.
Di bawah cahaya postmodern, kegilaan Guardiola justru menawarkan sebuah teater yang dahsyat, karena di sana ada kehendak berkuasa lewat diskursus.
Dalam kata-kata terbalut wacana, kehendak berkuasa memanifestasikan diri sebagai pisau guillotine yang siap memancung mereka yang dianggap tidak seirama, dianggap tidak sealiran, dinilai orang atau kelompok mbalelo.
Drama berjudul orang gila Guardiola memerankan siapa algojo, siapa pesakitan, dan siapa eksekutor, siapa korban eksekusi. Padahal intisari keindahan dari drama sepak bola, bukan menghukum melainkan mengajar, bukan memaksa melainkan memberi keleluasaan. Saripati ini diungkapkan oleh mereka yang telah makan asam garam sepak bola.
"Jika saja anda bertindak sebagai pelatih, boleh jadi anda akan merespons kesempatan melatih Bayern Munich itu. Mereka akan menjadi salah satu klub besar di Eropa," kata manajer Manchester United (MU) Alex Ferguson.
"Kota yang fantastis, stadion yang fantastis, punya segudang pemain bagus, punya sejarah yang menawan. Dengan begitu, anda sangat mudah memutuskan bahwa Bayern Munich akan menjadi pilihan anda," katanya. Sebuah ilustrasi dari kata-kata seorang manajer gaek asal Skotlandia yang mengukuhkan bahwa kegilaan Guardiola justru memesona serentak menggetarkan. Bukankah setiap laga sepak bola menyimpan drama yang memesona dan menggetarkan?
Sebagaimana klub-klub asal Jerman yang menganut dan mengandalkan kredo bahwa disiplin dan disiplin adalah segalanya, maka Guardiola tidak tanpa hambatan merapat di Bayern Munich. Lantas, apa yang akan dilakukan Guardiola di klub berjuluk FC Hollywood itu?
Guardiola akan menggelar dialog bersama seluruh personel klub dalam beberapa bulan mendatang, merencanakan skuad untuk musim depan dan membantu para staf pelatih, kata Ketua FC Bayern Munich Karl-Heinz Rummenigge.
"Ia (Guardiola) kini sedang belajar bahasa Jerman secara intensif, karena ia ingin cukup lancar berbahasa Jerman, agar tidak menjadi kendala di kemudian hari," katanya.
Orang gila Guardiola paham betul bahwa disiplin hanya bisa ditangkap dan diterapkan oleh seluruh punggawa bila ada wacana dengan kata-kata yang jelas dan terpilah-pilah.
Orang gila Guardiola akan menerapkan gaya melatih sarat disiplin. Teknologi sepak bola gaya Guardiola mengandalkan kepatuhan tubuh dari seluruh pemain dengan memberlakukan pengawasan ekstra ketat. Hanya saja, siapa-siapa saja pemain yang akan dipilih Guardiola kelak? Apakah ia memilih komposisi pemain yang mayoritas dari Barcelona, mantan klubnya itu?
Situasi Guardiola dapat diibaratkan dalam sebuah kisah mengenai seorang ayah yang tidak setia dengan sang istri. Suatu ketika, sang suami sudah menyatakan berpisah dengan mantan istrinya, tetapi ia masih menyambangi mantan istrinya itu karena ia pernah merasakan kegilaan yang memesona dan menggetarkan hati ketika asmara bersua.
Baik Barcelona maupun Munich, sama-sama lahir kemudian besar sebagai kota yang menyimpan kekayaan kultural, kota yang dinamis dan liberal. Kalau Barcelona lekat dengan bara gelora Catalan, maka Munich lekat dengan bara gelora Bavaria. Keduanya sama-sama menyimpan krisis identitas, artinya mau mengedepankan Catalan atau Barcelona, mau memberi prioritas kepada Bavaria atau justru kepada ke-jerman-an?
Hati Guardiola terpaut di Barcelona dan Bayern, karena keduanya sama-sama memiliki pola pembinaan pemain muda yang mumpuni, mendapat dukungan penuh dari seluruh fans, dan menyimpan bara semangat pemberontakan menjadi "sesuatu yang bermakna".
Barcelona dan Munich justru sama-sama menyimpan drama memesona dan menggetarkan hati. Ini yang membuat Guardiola mengidap kegilaan. Orang gila Guardiola terperangkap dalam pijar pesona dari laga bola yakni perjuangan tiada henti, meski laga bola menyimpan agresivitas, anomali dan hasrat tiada henti untuk berkuasa.
Corriere dello Sport menulis, "Pep membuat kejutan. Setiap orang dapat saja terkesima dengan penampilan elite sepak bola di Liga Primer, tetapi ia telah memilih jalan di luar dugaan banyak orang."
Corriere della Sera: "Tuan Pep! Sekarang kami baru tahu bahwa Guardiola adalah pelatih terbaik dunia. Ternyata bukan hanya Barcelona, sekarang giliran Bayern
Dan kata Guardiola, aku berkuasa maka aku ada!
(ANTARA)