Surabaya (Antara) - Empat narapidana anak dari balai pemasyarakatan anak di Medaeng (Sidoarjo), Blitar, dan Jombang, yang tergabung dalam "Teater Rumah Hati" mementaskan lakon "Lapar" di Auditorium Universitas Hang Tuah (UHT) Surabaya, Kamis(20/6) malam.
Di hadapan ratusan mahasiswa jurusan psikologi se-Surabaya dan pengurus HIMPSI Jatim, seorang napi anak dari BPA Medaeng, seorang napi anak dari BPA Blitar, dan dua anak napi anak dari BPA Jombang itu mementaskan lakon yang menceritakan pengalaman hidupnya.
Awalnya, keempat napi bernama Salman, Angga, Habibi, dan Andre bertemu di bawah tiang bendera Merah Putih di lapangan upacara BPA pada suatu sore, menjelang senja dan dalam selang waktu 2-3 jam itulah terjadi percakapan tentang pengalaman hidupnya hingga masuk penjara.
"Saya lahir tanpa tahu siapa bapak saya, kakak perempuan saya juga tidak tahu. Ibu pun datang dengan membawa adik yang saya juga tidak tahu siapa bapaknya, semuanya nggak jelas, akhirnya saya harus mengasuh adik saya," kata Salman mengawali cerita hidupnya.
Lain halnya dengan ungkapan Habibi.
"Semuanya gara-gara bapak ingin anak perempuan setelah saya lahir, tapi adik saya justru lahir laki-laki, sehingga bapak bercerai dengan ibu di saat saya masih berusia dua tahun, sehingga ibu harus bekerja," katanya.
Akhirnya, ia harus mengasuh adiknya, padahal adiknya mengalami cacat mental dan nakal, sehingga ia pun mengalami kerepotan dan akhirnya ia memasung adiknya.
"Itulah masalahnya, saya pun ditahan, lalu siapa yang merawat adik saya kalau ibu bekerja, sedangkan saya ada di penjara," katanya.
Cerita pun bergulir kepada Angga yang berasal dari keluarga miskin dan tidak ada yang sekolah, sehingga Angga terlahir sebagai anak yang temperamental, tapi suka mencuci baju untuk membantu ibunya.
"'Lenggang lenggang kangkung nek pinggir kali, jarene saiki era reformasi nek golek pangan kok setengah mati'. (Lenggang lenggang kangkung di pinggir kali, katanya sekarang era reformasi tapi mencari sesuap nasi kok sulit setengah mati, red.)," katanya sambil bernyanyi.
Nyanyian Angga yang tak kalah kritisnya adalah, "'Lenggang lenggang kangkung nek pinggir, jarene saiki reformasi kok akeh pejabat melbu bui'. (Lenggang lenggang kangkung di pinggir kali, katanya sekarang era reformasi tapi banyak pejabat kok masuk penjara/ pejabat korup, red.)".
Andri menggantikan Herman yang bermasalah, karena suka servis motor, lalu dipakai keliling kota hingga mesinnya rusak, sehingga dia harus mengganti dengan uang jutaan.
"Saya sering mimpi dan kejadian yang saya alami sepertinya sering saya lihat dalam mimpi, tapi saya nggak tahu kapan kejadiannya, saya lupa, 'embuh, rek'. (nggak tahu, rek, red.)," katanya.
Menurut sutradara "Lapar" Zainuri, dirinya sering melatih mantan napi anak bermain teater, tapi biasanya memerlukan waktu tiga bulan, namun pemain "Teater Rumah Hati" itu memerlukan waktu lebih lama yakni lima bulan, apalagi sampai ada yang "bermasalah" dan diganti.
"Lamanya waktu itu karena mantan napi anak yang saya latih itu miskin, lebih liar, dan tidak berpendidikan, sehingga mereka tidak bisa baca dan cara mengajari lebih sulit, karena saya harus bercerita dulu, lalu mereka memainkannya, begitu seterusnya," katanya.
Namun, pentas kali ini tergolong sukses, karena Angga yang tidak bisa membaca dan suka mengamuk justru membuat tertawa penonton.
"Sebagai orang psikologi, mereka merasa mendapatkan teori baru dengan adanya pengalaman hidup yang diteaterkan dan menjadi obat 'lapar' jiwa," katanya.
Empat napi anak Medaeng-Blitar-Jombang pentaskan "lapar"
Jumat, 21 Juni 2013 16:23 WIB 1270