Pasalnya, keputusan "revolusioner" dari MK itu akan membuka peluang bagi orang banyak untuk menilai dan berkesimpulan bahwa putusan itu menekankan dan mementingkan pengakuan hubungan biologis semata.
Hal itu akan memunculkan anggapan bahwa toh tanpa nikah resmi, dengan sejumlah bukti yang ada, anak dapat pengakuan hubungan darah.
Putusan MK tersebut ternyata mengundang sikap pro-kontra. Utamanya di beberapa keluarga, suami-isteri memperdebatkan substansi dari putusan yang didengar dan dibaca melalui media massa.
Lembaga perkawinan seperti Kantor Urusan Agama (KUA) dan Peradilan Agama yang banyak mengurusi talak, rujuk dan perceraian bakal tak penting lagi. Tentu orang licik akan mencari jalan secara licik pula untuk melampiaskan hasrat biologisnya, kata para ibu rumah tangga yang dihubungi secara terpisah.
Putusan MK itu justru merusak lembaga perkawinan itu sendiri. Kebanyakan orang akan 'membacanya' sebagai mementingkan hubungan biologis seorang bapak dengan anaknya.
Di sisi lain, lembaga perkawinan yang dianggap sakral terancam dianggap enteng atau diremehkan karena muncul persepsi masyarakat bahwa tanpa nikah di Kantor Urusan Agama (KUA), atau nikah resmi dihadapan penghulu sesuai ketentuan hukum, seorang anak di luar nikah pun dapat diakui dan memiliki kedudukan sama di mata hukum.
Seorang anak dari hubungan gelap pun, ke depannya, jika hendak mendapatkan hak waris harus mendapatkan penetapan ahli waris dari Pengadilan Agama.
Pengadilan Agama pun harus mengakomodirnya dengan mengeluarkan fatwa waris bagi anak yang selama ini dipersepsikan masyarakat sebagai "anak haram", kata seorang ibu.
Tentu pula, kedepannya, hal ini akan berimplikasi terhadap pembagian warisan dari kedua orangtua yang bersangkutan, bahkan dapat berdampak lebih luas lagi bila pihak ayah anak bersangkutan punya isteri sah dan lebih dari satu.
"Repot. Putusan itu menjastifikasi (membenarkan) kumpul kebo dan bisa merajalela 'hidung belang' di berbagai tempat," kata seorang ibu.
Dalam Islam, sejauh tetap mengindahkan hadist dan Al Quran, memang suami beristeri lebih dari satu (poligami) dapat dibenarkan, namun ada prosedurnya yaitu memiliki izin dari isteri pertama.
Tetapi tidak membenarkan perempuan bersuami lebih dari satu. Nah, terkait dengan putusan MK itu, bagaimana jika hal itu terjadi pada wanita yang melakukan hubungan dengan banyak lelaki secara ilegal.
Secara ilmiah, pembuktian DNA memang berhasil diketahui siapa lelaki yang telah melakukan hubungan "sebadan" dan menyebabkan wanita bersangkutan hamil. Anak yang bersangkutan diketahui memiliki ayah biologisnya. Lantas, tak mustahil wanita itu pun akan galau memikirkan bagaimana kedudukan lelaki lainnya yang juga melakukan "kontak badan" dengannya.
Karena itu, dalam sebuah laman, seorang ulama mengatakan bahwa tidak dibenarkan oleh agama wanita memiliki banyak pasangan. Poliandri dilarang. Logika yang dikedepankan ulama itu adalah misalkan ada satu teko air teh kemudian dituangkan ke dalam beberapa gelas maka air di dalam beberapa gelas itu tetap bernama air teh.
Oleh kerena itulah mengapa poligami dibenarkan oleh agama kerena tidak mengubah nama air yang ada di dalam teko walaupun dituangkan kedalam berpuluh puluh gelas. Sebaliknya poliandri dilarang kerena ada satu gelas di isi oleh beberapa teko yang isi airnya bermacam-macam seperti air teh, kopi, sirup dan es jeruk sehingga air yang ada di dalam gelas itu tidak diketahui lagi namanya/sumbernya. Agama Islam melarang poliandri.
Di era globalisasi dewasa ini, orang banyak ingin menyelesaikan pekerjaan serba cepat. Semua ingin serba instan (langsung). Ini sudah menjadi sunatullah bagi manusia. Dan terkait dengan sifat manusia seperti itu, tentu dalam urusan pernikahan bakal cenderung serba instan pula.
Tegasnya, jika ada kesulitan sedikit orang mengabaikan pernikahan dan memutuskan kumpul kebo. Toh, setelah punya anak bisa didaftar ke kantor catatan sipil. Konsekuensinya, kedudukan perempuan makin dianggap enteng pria.
Terhadap keputusan MK terebut, Wakil Menteri Agama (Wamenag) Prof. Dr. Nasaruddin Umar MA mengaku siap menjalankan putusan tersebut. Tapi, tambahnya, akan mempelajari terlebih dahulu karena erat kaitannya dengan aturan lainnya.
Putusan revolusioner
Putusan MK terhadap Uji Materiil UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan itu oleh Ketua MK Mahfud MD dianggap sebagai keputusan yang penting dan sangat revolusioner. Pasalnya, kini lelaki yang melakukan hubungan haram atau perzinahan tidak bisa mengelak, harus bertanggungjawab terhadap anak yang lahir.Ketua MK Mahfud MD menyatakan, UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945. Sehingga anak hasil perselingkuhan, perzinahan, kumpul kebo, maupun nikah siri, tetap memiliki hubungan dengan ayah biologis.
Dengan catatan, papar Mahfud, harus ada saksi yang bisa dipertanggungjawabkan terhadap pasangan tersebut maupun uji tes genetik (DNA) yang dapat membuktikan anak tersebut memang hasil hubungan seorang pria dan wanita.
Seperti diberitakan sebelumnya, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan Aisyah Mochtar alias Machica Mochtar. Keputusan itu menyebutkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya.
MK menyatakan, Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi, 'Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya' bertentangan dengan UUD 1945.
"Sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya," ujar Ketua MK Mahfud MD saat membacakan amar putusan di ruang Sidang Pleno gedung MK, Jumat (17/2).
Kemudian, MK juga menyatakan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
"Sehingga ayat tersebut harus dibaca, anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya," terang Mahfud.
Pedangdut era 1980-an, Machica Mochtar, istri siri mendiang mantan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono itu menggugat Pasal 2 Ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan ke MK.
Machica meminta dua pasal itu dihapus, karena dirinya merasa dirugikan, khususnya mengenai hak untuk mendapatkan status hukum anaknya, Muhammad Iqbal Ramadhan.
Dalam pertimbangannya, MK menyebut bahwa pokok permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal meaning), frasa 'yang dilahirkan di luar perkawinan'. Untuk memperoleh jawaban dalam perspektif yang lebih luas perlu dijawab pula permasalahan terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak.
Secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan.
Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya.
"Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya," imbuh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi.
Lebih lanjut, akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu, dan bapak.
Hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak.
Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum.
"Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya," tuturnya.
Fadlil juga mengatakan, anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya.
"Termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan," tandasnya.
Namun demikian, terhadap putusan MK, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati memiliki alasan berbeda. Menurutnya, Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menutup kemungkinan bagi anak untuk memiliki hubungan keperdataan dengan bapak kandungnya.
Hal tersebut adalah risiko dari perkawinan yang tidak dicatatkan atau perkawinan yang tidak dilaksanakan menurut UU Perkawinan, tetapi tidaklah pada tempatnya jika anak harus ikut menanggung kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan (perkawinan) kedua orang tuanya.
Jika dianggap sebagai sebuah sanksi, hukum negara maupun hukum agama (dalam hal ini agama Islam) tidak mengenal konsep anak harus ikut menanggung sanksi akibat tindakan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya, atau yang dikenal dengan istilah 'dosa turunan'.
Dengan kata lain, potensi kerugian akibat perkawinan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan UU 1/1974 merupakan risiko bagi laki-laki dan wanita yang melakukan perkawinan, tetapi bukan risiko yang harus ditanggung oleh anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut.
"Dengan demikian, menurut saya, pemenuhan hak-hak anak yang terlahir dari suatu perkawinan, terlepas dari sah atau tidaknya perkawinan tersebut menurut hukum negara, tetap menjadi kewajiban kedua orang tua kandung atau kedua orang tua biologisnya," pungkasnya.
Wakil Menteri Agama (Wamenag) Prof. Dr. Nasaruddin Umar MA mengaku siap menjalankan putusan MK. Kalau putusan MK memerintahkan anak hasil di luar pernikahan memiliki hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya, maka aturan tersebut yang harus diterapkan. "Kami tunduk pada putusan MK," kata Nasaruddin seperti dikutip Republika, Jumat (17/2).
Lantas, kini yang menjadi persoalan, pencataan akta nikah anak di KUA yang berbeda. Impelementasi putusan MK, jika dulu anak di luar nikah tidak bisa mendapat akta, sebab tidak memiliki surat nikah. Maka sekarang hal itu bisa berubah.
"Saya pelajari dulu putusannya formalnya. Nanti baru diterapkan," kata Nasaruddin. (T.E001/B005)