Balige, Sumut (Antara) - Buku sastra berbahasa Batak yang pertama berupa "torsa-torsa" atau kumpulan cerita pendek berjudul "Mangongkal Holi" diterbitkan oleh novelis Saut Poltak Tambunan, sebagai suatu upaya melestarikan bahasa daerah tersebut.
"Apresiasi terhadap bahasa Batak relatif dinilai rendah, sehingga salah satu cara untuk menyelamatkannya adalah dengan mengaplikasikannya ke dalam karya sastra," kata Saut di Balige, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, Rabu.
Dia mengatakan terkait banyaknya kearifan lokal dan nilai luhur tradisional etnis Batak, upacara "Mangongkal holi" diangkat sebagai judul "torsa-torsa" itu yang ditransformasikan lewat karya sastra berbahasa daerah.
Sebab, kata dia, jika bahasa ibu" pudar, dikhawatirkan kearifan lokal juga akan ikut punah. Hal itu, sekaligus mengatasi persoalan lain, dengan banyaknya perantau Batak yang melupakan bahasa daerahnya setelah merantau.
"Mangongkal holi" merupakan tradisi membongkar kembali tulang-belulang dan menempatkannya ke suatu tempat (batu napir) atau bangunan yang lebih tinggi dan mewah dari makam sebelumnya.
Menurut Saut yang pada 2012 sebagai kurator senior di ajang Ubud Writer & Readers Festival (UWRF), hingga saat ini lembaga pemerintah kurang peduli dengan keselamatan bahasa daerah.
Hal tersebut, katanya, terlihat dengan minimnya karya-karya sastra bernuansa lokal yang dipelajari di lingkungan pendidikan sejak dini.
Dia mengaku prihatin terhadap tanda-tanda yang disampaikan Kemendikbud bahwa sebagian besar di antara 746 bahasa daerah yang masih eksis, akan punah sehingga hanya tersisa 10 persen pada akhir abad 21.
Kegelisahan tersebut, kata dia, makin terasa setelah gonjang-ganjing yang cukup ironis, ketika Kemendikbud justru menghapus muatan lokal berupa bahasa daerah dari Kurikulum 2013.
Invasi budaya asing menyelusup sampai pelosok desa dan menggerus tradisi. Pemaknaan ulang atau revitalisasi budaya menjadi keniscayaan, jika ingin membentengi generasi muda dari invasi budaya asing," ujarnya.
Sebagai penulis yang sudah berkiprah sejak 1973, katanya, selama beberapa tahun terakhir, karyanya selalu berada dalam ranah kearifan lokal, terutama dengan menerbitkan novel dan puisi berbahasa Batak.
Menurut dia, upaya penyelamatan bahasa daerah yang dilakukan, sekaligus akan menguatkan identitas para sastrawan dengan entitas budayanya.
Sejak 40 tahun lalu terjun menjadi penulis sastra, dia sudah menelurkan puluhan cerpen, puisi, dan novel berbahasa Indonesia. Bahkan, beberapa karyanya diterjemahkan ke bahasa asing, seperti Prancis dan Polandia.
"Sebagai seorang penulis, saya merasa bertanggungjawab untuk menulis karya sastra berbahasa Batak," katanya.