Jakarta (ANTARA) - Pandemi COVID-19 yang beberapa waktu lalu memutuskan interaksi sosial orang-orang secara langsung ternyata tak menghentikan tindak perundungan atau bullying pada orang-orang yang menjadi target pelaku.
Psikolog klinis dewasa dari Universitas Indonesia, Pingkan Rumondor, S.Psi, M.Psi mengatakan, di masa pandemi ini perundungan yang terjadi khususnya di tempat kerja terjadi secara daring seperti dalam rapat online dengan peserta yang melontarkan komentar mengandung unsur melecehkan, email berisi pergosipan dan via telepon.
Dia mengutip sebuah penelitian pada tahun 2020 oleh satu organisasi mengungkapkan, peningkatan angka responden yang mengeluhkan pelecehan dan direndahkan berbasis gender, etnis dan usia di masa pandemi.
Dari kacamata psikologi, menurut Pingkan, ada beberapa hal yang membantu melanggengkan tindak perundungan di tempat kerja, seperti gaya kepemimpinan yang otoriter, iklim kerja yang rentan membuat karyawannya stres.
Selain itu, sebagian orang masih berpegang pada budaya kolektif yang salah satunya mengutamakan keharmonisan. Seorang saksi perundungan bisa berpikir melaporkan peristiwa yang dia lihat sebagai upaya merusak kerharmonisan.
"Misalnya saya sebagai saksi nih melihat ada terjadi perilaku bullying saya merasa 'Aduh laporin enggak ya?' karena ketika saya konfrontasi berarti saya membawa diri saya ke dalam suatu konflik," tutur Pingkan dalam sebuah webinar terkait peringatan Hari Toleransi Internasional ditulis Selasa.
Pingkan mengatakan, pemikiran semacam ini dapat mempersulit seseorang untuk maju mengintervensi terjadinya perilaku bullying.
Penyebab lainnya bullying terjadi, yakni masih dianutnya senioritas di beberapa organisasi. Karyawan yang lebih senior dirasa perlu dihormati karena stratanya lebih tinggi ketimbang yang baru. Dalam hal ini, ada pihak yang berkeingnan merendahkan pihak lain secara sengaja.
Dalam hal perundungan, Pingkan menekankan tiga hal di sini yakni kesengajaan, dilakukan berulang-ulang dan ada ketidakseimbangan kekuasaan misalnya ada salah satu pihak yang merasa superior atau lebih tinggi dan satu lainnya merasa inferior.
Dari sisi pelaku, menurut Pingkan, walau terkadang dia mengaku tak sadar perilakunya menyakiti orang lain. Tetapi, ada alasan-alasan di balik tindakannya yakni rasa tidak mampu rasa malu terhadap diri sendiri yang sedang dia berusaha tutupi dengan menjatuhkan orang lain.
Dengan kata lain, pelaku bullying sebenarnya sangat tidak nyaman dengan dirinya sehingga agar dia tidak perlu merasakan hal ini maka dia akan menyerang atau menarget orang yang menurut mereka lebih rendah.
Apa dampaknya bagi mereka yang dirundung? Kemungkinan munculnya pikiran negatif terkait diri mereka, seperti ada yang salah dengan diri, ada rasa ragu-ragu yang menurunkan produktivtas kerjanya. Buntutnya, ini berdampak yang buruk bagi kesehatan mentalnya.
Masalah pada mental pun bisa berimbas pada kesehatan fisik. Stres yang terus menyerang membuat kualitas tidur terganggu dan munculah berbagai penyakit terkait hal ini seperti tekanan darah tinggi, maag dan lainnya.
Bukan hanya itu, perundungan berdasarkan berbagai studi juga berdampak pada kondisi finansial korban. Sebagian orang akan berusaha mencari bantuan tenaga profesional apalagi bila tempatnya bekerja menyediakan kompensasi kesehatan atau asuransi terkait kesehatan jiwa.
Akibatnya, dia akan mengeluarkan uang dua kali lipat lebih banyak untuk perawatan kesehatan mentalnya dibandingkan orang yang tidak mengalami perundungan.
Sementara bagi perusahaan tempat langgengnya perundungan, ada dampak negatif yang bisa terjadi. Semakin langgengnya bullying, semakin memungkinkan potensi hukum yang terjadi dan berujung rusaknya nama baik institusi atau perusahaan itu.
Melihat hal ini, Pingkan secara tegas mengatakan perundungan termasuk di tempat kerja perlu diberantas.
Penyandang disabilitas jadi target
Berbicara target secara umum, menurut Pingkan, biasanya menargetkan sosok-sosok berbeda dari mayoritas di mana bullying terjadi. Womanpreneur penyandang disabilitas, Nicky Clara mengatakan, mereka ini termasuk teman-teman penyandang disabilitas.
Clara menuturkan, sebagian teman peyandang disabilitas secara visual terlihat keterbatasan atau kekurangannya sehingga sangat rentan terhadap bullying. Dia bahkan mengakui, bullying bagi mereka dengan disabilitas layaknya makanan yang dikonsumsi sehari-hari.
Bentuknya beragam, mulai dari verbal hingga non-verbal termasuk menggunakan kekerasan fisik.
Clara mencontohkan pengalamannya sendiri ketika berada di suatu pusat perbelanjaan. Dia yang mengenakan kaki palsu, pernah memergoki orang-orang membicarakan dirinya sembari berbisik-bisik dan menunjuk pada kaki. Mereka juga menunjukkan ekspresi wajah heran pada kondisi Clara.
Pada masa sekolah, dia bahkan pernah dicemooh dengan sebutan "kaki boneka", "kaki palsu", "pincang" dan "cacat". Tak sampai di sana, orang bahkan pernah menarik kaki palsu Clara hingga membuatnya terjatuh.
Pada kasus lain, dia mendapati orang-orang yang terang-terangan menertawakan saat teman-teman disabilitas mengggunakan bahasa isyarat.
Apa yang bisa dilakukan melihat hal ini? Tanpa bermaksud kasar, dia biasanya mendekati orang-orang yang membicarakannya lalu bertanya sembari tersenyum adakah yang ingin mereka tanyakan.
Mengetahui perundungan yang khususnya dialami mereka dengan disabilitas, Fabelyn Baby Walean yang tergabung sebagai relawan di komunitas Sudah Dong sejak tahun 2014 melakukan kampanye edukasi terkait perundungan terutama di tempat kerja melalui media sosial.
Edukasi yang dia dan tim lakukan dimulai dari pemberian pemahaman seperti apa suatu tindakan disebut bullying. Setahun kemudian, mereka mengeluarkan e-booklet berisi panduan melawan bullying.
Kini, komunitasnya juga membuka peluang kerja sama dengan perusahaan untuk melakukan kampanye anti-perundungan di tempat kerja.
Di sisi lain, upaya memberantas bullying termasuk di tempat kerja juga membutuhkan bantuan pihak perusahaan. Head of Communications PT Unilever Indonesia, Tbk, Kristy Nelwan, mengatakan, ada tiga hal utama yang bisa dipegang pihak perusahaan sebagai komitmen melawan perundungan di tempat kerja.
Respect, Dignity & Fair Treatment (RDFT) contohnya yang menjadi kode etik perusahaan untuk memastikan semua karyawan bekerja di lingkungan yang mempromosikan keberagaman, rasa saling percaya, menghormati hak asasi manusia dan memberikan kesempatan yang setara, tanpa diskriminasi.
Kristy menegaskan, perusahaan bisa menindak tegas perilaku menyinggung, mengintimidasi, atau menghina termasuk segala bentuk pelecehan atau bullying atas dasar perbedaan ras, usia, gender, peran, agama, kondisi fisik, kelas sosial hingga pandangan politik sekalipun.
"Jadi lingkungan kerja yang mengintimidasi, mengucilkan itu sangat kami tentang," demikian kata dia.
Perundungan di era pandemi COVID-19, target dan upaya memberantasnya
Selasa, 16 November 2021 13:24 WIB 961