"Kalau kali ini aku tidak lulus lagi tes PNS, tolong jangan larang aku untuk terus mengajar ya Yah!!! Aku ingin terus mengajar."
Begitu Nanik Iswati (40), memohon dengan suara lirih kepada suaminya pada suatu malam di penghujung 2013.
"Iya dah Ma. Biarlah semuanya mengalir saja," kata sang suami yang dipanggilnya dengan sebutan ayah itu.
Bak gerimis pertama di musim hujan, jawaban itu melegakan hati Nanik yang sudah 12 tahun mengabdi sebagai guru honorer dengan gaji di bawah pas-pasan di sebuah sekolah memengah kejuruan (SMK) di Bondowoso, Jawa Timur.
Menjalani pengabdian 12 tahun tanpa kejelasan status tentu bukan yang pendek. Muskil episode hidup selama itu bisa dijalani tidak putus-putus jika tidak ada komitmen kuat seseorang terhadap suatu pekerjaan.
"Saya tidak bisa membayangkan jika saya berhenti mengajar, apalagi karena dilarang oleh keluarga, khususnya suami. Kebahagiaan bertemu dengan murid-murid itu tidak bisa diukur dengan apapun," tutur Nanik.
Selain itu, baginya mengajar itu adalah amal ibadah karena darinya ia bisa berbagi ilmu dengan anak didik. Lulusan Universitas Muhammadiyah Jember dengan predikat cumlaude ini juga mengajar di dua sekolah swasta. Bayarannya di satu sekolah ada yang Rp60.000, Rp90.000 dan tertinggi Rp200.000 per bulan.
Tidak jarang sebagian uang itu "dikembalikan" ke siswanya. Misalnya saat siswa menjalani praktik kerja industri (prakerin). Setiap meninjau anak-anak yang praktik lapangan itu, ia selalu membelikan oleh-oleh untuk lima hingga enam anak muridnya.
"Saya hanya mengharapkan hidup yang berkah dan melaksanakan anjuran orang tua agar saya ringan tangan membantu orang lain. Karenanya saya merasa bahagia kalau bisa berbagi. Apalagi untuk murid sendiri," ucapnya.
Dengan penghasilan seperti itu ia tidak ada masalah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ia lebih mengandalkan lahan pertanian yang dibelinya dari hasil jerih payahnya menjadi TKW formal di sebuah perusahaan selama empat tahun di Malaysia.
Kalau kemudian ia sampai tiga kali ikut tes pegawai negeri sipil (PNS) dan semuanya gagal, itu bukan semata-mata karena mengejar kejelasan gaji setiap bulan. Ia ingin menjadi PNS untuk memperkuat pilihan hatinya jika ada keluarga dekatnya mempersoalkan profesinya sebagai guru itu.
Ada saja rintangan terkait pekerjaan yang dijalaninya karena tidak sebanding dengan bayaran yang diterima. Ia enggan menjelaskan secara rinci persoalan itu. Namun ia mengaku, sebagai manusia, rintangan itu membuatnya gundah.
Suatu ketika sang suami marah besar dan menyuruhnya berhenti mengajar. Saat itu si suami mengungkit besaran bayaran diterima sebagai guru sukarelawan (sukwan). Itu karena Nanik, ibu dua anak, ini pernah pulang pukul 02.00 dini hari saat menjaga saung atau "stand" pameran sekolahnya.
Sebetulnya itu dilema baginya. Satu sisi menjaga perasaan suaminya, satu sisi urusan saung sekolah di pameran itu belum selesai. Tidak mungkin ia meninggalkan teman-teman guru lainnya yang juga pulang larut.
"Akhirnya saya minta tolong kepala sekolah untuk memberikan pengertian kepada suami. Saya betul-betul panik jika suami tetap pada pendiriannya melarang saya mengajar. Sungguh, mengajar itu bagian dari hidup saya. Syukurlah akhirnya suami memahami. Sebetulnya sangat manusiawi kalau suami saya marah waktu itu," ujarnya, lirih.
Perjalanan Nanik menjadi pendidik sejatinya diawali dari rasa tidak suka. Ketika lulus SLTA, ia tidak mau mengikuti anjuran orang tuanya untuk kuliah di fakultas keguruan dan ilmu pendidikan (FKIP). Masalahnya ia tidak memiliki kepercayaan diri berbicara di depan umum. Maka masuklah ia ke jurusan pertanian hingga wisuda tahun 1996.
Singkat cerita, ia kemudian tertarik mendaftar di perusahaan elektronika di Malaysia dan diterima. Nanik bekerja di bagian operator. Dengan kontrak selama tujuh tahun, ia hanya mampu menjalani empat tahun karena tidak tahan dengan permintaan orang tuanya agar segera pulang.
Hasil jerih payah di negeri rantau itu ia belikan beberapa tanah yang tidak produktif dan lahan persawahan. Lahan nganggur itu ia tanami kayu, khususnya jati, dengan perlakuan ilmu pertanian sehingga pertumbuhannya lebih cepat.
Kembali ke Bondowoso ia menjadi "pengangguran" karena lahan-lahannya digarap oleh pekerja. Ia kemudian menikah pada 2001. Kebiasaannya sehabis masak pagi kemudian tidur membuat bapaknya resah.
Bapaknya yang saat itu kepala desa meminta Nanik mengajar saja agar ilmunya bermanfaat. Namun, ia belum punya kepercayaan diri untuk mengikuti anjuran itu. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana harus berbicara di depan orang banyak. Si bapak lah yang mencarikannya sekolah untuk mengajar.
Tak mau mengecewakan orang tua, Nanik terpaksa harus menjalani aktivitas itu. Ia mengajar di sekolah dasar. Bahkan pernah menjadi guru kelas yang mengajar berbagai mata pelajaran yang tidak ada hubungannya dengan ilmu pertanian.
"Tapi, lama-lama saya menikmati berbicara di depan murid-murid itu. Pikiran menjadi 'fresh', walaupun bayarannya ketika itu hanya Rp50.000 sebulan. Bahkan kalau tidak masuk, menjadi ketagihan," ungkapnya. (Antara)
Tolong jangan larang aku mengajar ya! (1)
Kamis, 27 Februari 2014 12:15 WIB 1617