Pekanbaru (Antara) - Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu di Provinsi Riau, yang awalnya menjadi harapan konservasi berkelanjutan di Indonesia, kini justru compang-camping dihajar perambahan dan pembalakan liar. Beragam masalah terungkap ke permukaan justru saat kawasan itu menjadi "lumbung" asap akibat kebakaran hutan.
Dari udara, sejumlah titik api terlihat di kawasan konservasi yang terletak di Kabupaten Bengkalis dan Siak itu. Asap besar mengepul dari hutan yang terbakar seperti ombak yang menggulung-gulung sangat mengerikan.
Sementara di bagian lainnya, lebih dari satu area berbentuk bujur sangkar yang diperkirakan dua kali luas lapangan bola, terlihat dibentuk dengan rapi di tengah hutan. Bagian itu penuh dengan ratusan pohon-pohon yang tumbang, dan disatu sisinya ada rel kayu sepanjang lebih dari lima kilometer mengarah ke sebuah lahan gundul dengan tanah yang menghitam seperti bekas terbakar.
Rel itu digunakan untuk mengalirkan kayu yang berujung ke beberapa gubuk dengan atap terpal warna biru. Tepat di depan bangunan itu terdapat tumpukan kayu yang sudah berbentuk papan.
Pemprov Riau menetapkan status Darurat Asap pada 26 Februari dan menunjuk Komandan Korem 031/WB Brigjen TNI Prihadi Agus Irianto sebagai Komandan Satgas Tanggap Darurat. Sehari setelah itu, Brigjen Prihadi bergerak cepat setelah menerima laporan bahwa sumber kebakaran besar yang mengakibatkan asap berasal dari cagar biosfer.
Ia memutuskan menerjunkan 180 personel TNI AD untuk melakukan operasi penertiban. Perintahnya tegas: tangkap pelaku dan bakar gubuknya!
"Bakar saja, anggap (gubuk) itu sampah," kata Prihadi Agus di Posko Tanggap Darurat Asap Riau di Lanud Roesmin Nurjadin, Pekanbaru pada 27 Februari lalu.
Sayangnya, operasi "bakar sampah" itu bisa dikatakan terlambat karena perambahan dan kebakaran sudah sangat masif dan tak terkendali. Data Satgas menyebutkan lebih dari 3.000 hektare (ha) kawasan cagar biosfer sudah terbakar, dimana 800 ha diantaranya berada di zona inti.
Kebakaran kawasan itu merupakan penyumbang asap paling banyak dari area kebakaran di Riau yang hingga pertengahan Maret ini luasnya sudah lebih dari 14.000 ha. Asapnya telah lebih dari satu bulan terakhir menyelimuti Kota Pekanbaru, sedangkan pemadaman dari udara menggunakan helikopter Sikorsky yang menjatuhkan 4.000 liter bom air belum kunjung membuahkan hasil optimal.
Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu memiliki luas 178.722 ha, yang pembentukannya digagas oleh perusahaan industri kehutanan Sinar Mas Forestry Group. Cagar biosfer diklaim merupakan kawasan yang unik karena adanya kolaborasi pengelolaan antara swasta dan pemerintah.
Cagar biosfer itu menyatukan dua kawasan konservasi, yakni Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil seluas 84.967 ha dengan Suaka Margasatwa Bukit Batu seluas 21.500 ha yang kemudian menjadi zona inti.
Di sana juga terdapat zona penyangga yang merupakan berstatus hutan produksi yang tidak ditebangi lagi seluas 72.255 ha. Zona penyangga dahulu pernah terbit izin untuk sejumlah perusahaan namun sudah kedaluarsa, seperti bekas dari PT Dexter Timber Perkasa Indonesia (31.745 ha), PT Satria Perkasa Agung (23.383 ha), PT Sakato Pratama Makmur (12.302 ha), dan PT Bukit Batu Hutani Alam (5.095 ha).
Selain itu, konsesi hutan tanaman industri PT Arara Abadi dari Sinar Mas Group juga berada di sekeliling kawasan itu berupa hamparan kebun akasia yang membentuk seperti sabuk. Berdasarkan penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesai (LIPI) tahun 2007, kawasan cagar biosfer memiliki keanekaragaman hayati sekitar 126 jenis tumbuhan, 8 jenis reptil, sekitar 150 jenis burung, 10 jenis mamalia dan Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) yang terancam punah.
Wacana
Sayangnya, kolaborasi pemerintah dan swasta ternyata baru sebatas wacana dan pencitraan semata. Dua orang sumber dari Satgas Tanggap Darurat Asap Riau, yang ingin namanya tidak dituliskan, mengatakan perambahan di cagar biosfer sudah berlangsung lama dan makin menjadi-jadi akibat adanya unsur pembiaran dari pemerintah dan kepolisian. Kedua sumber ingin identitasnya dirahasiakan dengan alasan keamanan.
"Polisi sudah tahu, Bupati Bengkalis juga sudah lama tahu ada perambahan ini," kata sumber itu.
Sumber lainnya mengungkapkan perambahan besar-besaran menerjang langsung ke "jantung" cagar biosfer yang juga menjadi titik terlemah dalam pengelolaan kawasan itu. Tempat tersebut disebut area "open access", kawasan hutan yang belum diterbitkan izin oleh Kementerian Kehutanan. Area itu luasnya sekitar 80.000 ha, dimana di dalamnya juga terdapat zona penyangga bekas empat perusahaan seluas 72.255 ha.
"Lokasi ini tidak jelas siapa yang bertanggung jawab menjaganya sekarang, makanya jadi timbul pembiaran," katanya.
Kementerian Kehutanan melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Provinsi Riau selama ini hanya melindungi area dua suaka margasatwa di cagar biosfer. Sumber mengatakan, untuk melindungi dua kawasan itu saja BBKSDA sudah kewalahan karena jumlah personel minim.
Sementara itu, pihak perusahaan dalam hal ini Sinar Mas Group juga merasa tidak punya kewajiban untuk menjaga area "open access" itu. Ketika para perambah mulai melakukan pembakaran pada akhir Januari lalu, perusahaan juga bersikap pasif hanya melaporkan kejadian itu BBKSDA Riau yang ternyata kurang ditanggapi.
Sumber itu mengatakan pihak Sinar Mas Group sudah lama mengincar untuk bisa mengelola area "open access" masuk dalam konsesi perusahaan, namun usulannya belum dikabulkan oleh Menteri Kehutanan.
"Perusahaan berpendapat pada area open access seharusnya adalah kewajiban negara, artinya Kemenhut yang harus menjaganya dari perambahan dan kebakaran," katanya.
Alhasil, kebakaran yang makin meluas juga merambat ke konsesi Arara Abadi dan juga zona inti cagar biosfer.
Dalam kunjungannya ke Pekanbaru pada 5 Maret lalu, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengakui kuatnya tekanan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar masalah asap dan kebakaran di Riau ditanggulangi secepat mungkin. Sebabnya, Pemerintah SBY tidak ingin apabila asap Riau kembali mencapai negara tetangga dan terpaksa meminta maaf lagi yang dinilai merupakan situasi yang memalukan.
Di tengah tekanan dari Sang Presiden, ditambah lagi cecaran jurnalis yang mempertanyakan keseriusan Kemenhut menjaga cagar biosfer, Zulkifli Hasan akhirnya mengakui masalah perambahan itu.
"Kita buka-bukaan sajalah di sini. Tidak perlu ditutup-tutupi. Sekarang ini ada 2.000 warga asal Sumatera Utara yang membuka kawasan hutan di cagar biosfer di Riau. Mereka merambah kawasan hutan lalu membakar lahan untuk perkebunan sawit," kata Zulkifli Hasan di tengah kerumunan wartawan.
Ia mengatakan ada indikasi kuat bahwa ribuan perambah sengaja didatangkan oleh oknum pemodal. "Bisa anda bayangkan, bus bisa masuk ke dalam kawasan zona inti cagar biosfer," ungkapnya.
Pihak Polda Riau juga mengakui perambahan cagar biosfer sudah berlangsung sejak lama. Juru Bicara Polda Riau AKBP Guntur Aryo Tejo mengatakan modus kejahatan di cagar biosfer banyak ragamnya, mulai dari pembalakan liar sampai okupasi lahan yang melibatkan oknum pemerintah tingkat desa.
Meski begitu, ia membantah polisi melakukan pembiaran. Untuk saat ini, ia mengatakan kepolisian sudah menangkap pelaku lapangan perambah cagar biosfer dan mengejar dua tersangka yang buron karena diduga melarikan diri ke Sumatera Utara. "Kami bukan pembiaran, tapi penanganan kasus ini butuh proses dan butuh bukti-bukti yang kuat. Bukan perkara mudah," tegas Guntur Aryo Tejo di Pekanbaru 7 Maret lalu.
Terancam Dicabut UNESCO
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, Riko Kurniawan, mengatakan ada kekhawatiran penetapan yang sudah dibuat UNESCO akan dicabut kembali karena fungsi cagar biosfer ternyata gagal.
Ia menilai, pihak perusahaan Sinar Mas selaku inisiator cagar biosfer ternyata hanya setengah hati dan lalai untuk menjaga kawasan itu. Menurut dia, praktek-praktek yang dilakukan perusahaan maupun perambah liar di sekitar cagar biosfer telah berdampak negatif terhadap kawasan koservasi dunia. Idealnya, gambut dalam tidak bisa dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit serta hutan tanaman industri.
"Jika gambut itu rusak, maka hamparan gambut di sekitarnya juga ikut rusak. Ini terjadi setiap tahun. Baik pembakaran di kawasan cagar biosfer atau pemalakan liar, bahkan sebelum ditetapkan sebagai cagar biosfer oleh UNESCO pada 2009," katanya.
Ia berpendapat solusi yang harus dilakukan sekarang terutama bagi pemerintah, adalah bagaimana menahan atau mencabut izin-izin yang sudah dikeluarkan ke perusahaan di kawasan itu.
Sementara itu, Humas Sinar Mas Forestry Nurul Huda membantah pihak perusahaan lalai dalam menjaga cagar biosfer. "Jadi kalau dibilang Sinar Mas lalai, kita tidak pernah lalai dan yang salah itu, ya perambah. Saya mau tanya, wilayah sebesar ini (cagar biosfer) siapa yang mau jaga?. Memangnya setiap meter harus dijagain orang," ujar Nurul Huda di Pekanbaru pada 6 Maret atau sehari pasca kunjungan Menhut.
Ia menyatakan pihaknya tidak pernah lalai dalam menjaga cagar biosfer karena sudah kerja sama dengan Polres Bengkalis dalam penangkapan pelaku pembakaran lahan dan mengklaim juga sudah berapa kali melakukan operasi gabungan.
Tanpa ada keseriusan semua pihak, maka hanya tinggal menunggu waktu saja sampai Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu hanya tinggal namanya saja yang tersisa. (Antara)
Ketika cagar biosfer Riau jadi "lumbung" asap
Minggu, 9 Maret 2014 14:25 WIB 3086