Banjarmasin (ANTARA) - Hamparan danau dengan pulau-pulau kecil terserak menjadi pemandangan yang mengikat mata begitu pengunjung mencapai puncak Bukit Matang Kaladan.
Di tepi danau tampak beberapa rumah warga, serta keramba ikan yang ditempatkan agak ke tengah.
Dengan latar belakang Pegunungan Meratus, lanskap (bentang alam) dari atas bukit ini tampak laksana lukisan.
Warga setempat bahkan menjuluki tempat wisata ini sebagai "Raja Lima", karena kemiripan lanskap dengan Raja Ampat di Papua Barat.
Bukit Matang Kaladan dengan tinggi sekitar 400 meter dari permukaan laut ini berlokasi di Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan. Bukit ini masih termasuk dalam kawasan Taman Hutan Rakyat (Tahura) Sultan Adam, yang meliputi wilayah seluas 112 ribu hektare.
Untuk mencapai puncak bukit, pengunjung bisa memilih cara sulit atau cara mudah.
Cara sulit yang cukup menantang bisa ditempuh dengan mendaki melalui jalur pendakian yang cukup menanjak, meski sudah ada trek berupa tangga batu yang mempermudah pendaki. Dibutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk mencapai puncak.
Sedangkan cara mudah bisa ditempuh dengan menyewa ojek dengan biaya Rp20 ribu sekali jalan, melalui jalur yang tidak terlalu terjal bahkan sudah ada jalan setapak dengan "paving block". Dengan cara ini, waktu tempuh menuju puncak bukit hanya sekitar 15 menit.
Di samping lanskap yang indah, Bukit Matang Kaladan yang merupakan bagian dari kawasan Pegunungan Meratus juga memiliki nilai geologis yang tinggi.
Kawasan yang ditetapkan sebagai salah satu geosite andalan Geopark Meratus ini sudah mulai dikenal masyarakat sejak tahun 2015.
Pembenahan kawasan wisata yang tergolong baru ini semakin digenjot setelah Pegunungan Meratus ditetapkan sebagai geopark (taman bumi) nasional pada 2018.
Dari kerak samudera
Pegunungan Meratus yang membentang hingga seluas 600 kilometer persegi merupakan hamparan ofiolit atau lembaran kerak samudera tertua di Indonesia, berusia hingga 200 juta tahun.
Pegunungan yang menjadi punggung Pulau Kalimantan ini terbentuk dari subduksi samudera, benturan benua, serta volkanisme tua.
Pakar geologi dari Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta Jatmika Setiawan mengatakan kawasan ini ratusan juta tahun yang lalu berada pada kedalaman 6.000 meter di bawah permukaan laut.
Kemudian, akibat tumbukan dua benua, lembaran kerak samudera itu terangkat bahkan hingga 1.000 meter di atas permukaan laut, kata dia.
Secara keseluruhan terdapat 74 geosites potensial Pegunungan Meratus yang tersebar di sembilan kabupaten/kota di Kalimantan Selatan.
Matang Kaladan salah satunya. Bukit ini merupakan kelompok batu malihan tersusun atas batuan sekis dan serpentinit yang berusia 100-200 juta tahun.
Morfologi pada geosite Matang Kaladan adalah kawasan perbukitan bergelombang yang bagian lembahnya membentuk danau.
Koordinator Strategis Pengembangan Geopark Nasional, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Togu Pardede mengatakan, Geopark Meratus memiliki potensi luar biasa.
"Di Meratus ini, ada potensi geodiversity, biodiversity dan cultural diversity yang luar biasa. Semuanya saling terkait dan ada ceritanya," katanya.
Dari bebatuan yang ada, katanya, masyarakat bisa mempelajari flora, fauna, manusia dan budaya yang semuanya saling terkait.
Di Indonesia saat ini ada 19 taman bumi nasional, enam di antaranya sudah diakui sebagai UNESCO Global Geopark (UGG).
Keenam taman bumi tersebut adalah Gunung Batur di Bali, Gunung Sewu di Yogyakarta, Rinjani di Lombok, Ciletuh di Sukabumi, Belitung di Bangka Belitung dan Kaldera Toba di Sumatera Utara.
Sementara Geopark Meratus masih dalam persiapan untuk diajukan sebagai UGG.
Hutan Kahung
Setelah puas menikmati pemandangan dari atas Bukit Matang Kaladan, pengunjung bisa langsung menuju ke Hutan Kahung. Hutan yang dalam istilah geologi merupakan serpentinite geoforest ini berada di Desa Belangian.
Desa ini bisa dijangkau dengan menyewa perahu klotok dari dermaga waduk Riam Kanan, waduk seluas 9.730 hektare yang membendung air dari delapan sungai di Meratus dan oleh PT PLN dimanfaatkan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
Perkampungan yang tampak rapi dengan jalan setapak sudah dicor menyambut pengunjung sebelum memasuki hutan Kahung. Dari dermaga desa, pengunjung bisa menyewa ojek menuju hutan, dengan menempuh perjalanan hanya sekitar 10 menit, melintasi perkebunan karet rakyat, persawahan dan jembatan kayu kecil.
Hingga masuk ke dalam hutan, disediakan jalan setapak dari paving block sehingga memudahkan pengunjung yang ingin berjalan kaki.
Kepala Badan Pengelola Geopark Meratus (BP Geopark Meratus) Nurul Fajar Desira mengatakan, berbagai macam flora unik dan langka masih bisa ditemukan di hutan ini, seperti anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis), jamur tudung pengantin (Phallus indusiatus), dan kantung semar (nepenthes sp).
Selain itu juga masih ada beruang madu dan monyet hitam di hutan seluas sekitar 500 hektare ini.
Hutan Kahung terdiri atas batuan yang cukup kompleks, mulai dari diorit, basalt, serpentinit gabro, sehingga berpengaruh pada ragam jenis tumbuhan di kawasan tersebut.
Fajar menunjukkan pohon benuang laki (Duabana Moluccana), pohon yang diperkirakan paling besar di hutan tersebut.
"Diperlukan 15 orang dewasa untuk memeluk batang pohon ini," katanya, untuk menggambarkan besaran diameter pohon tersebut.
Puas menikmati sejuknya hutan dengan iringan konser serangga dan celoteh monyet dari kejauhan, pengunjung bisa melanjutkan perjalanan dengan perahu kelotok menuju Bukit Batu.
Masih berada di kawasan waduk Riam Kanan, Bukit Batu merupakan destinasi wisata yang tergolong baru dan tengah dikembangkan Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan.
Bukit ini menyajikan panorama padang sabana dengan latar belakang danau dan pegunungan.
Saat fajar dan sore hari menjelang malam, akan terlihat semburat cahaya kekuningan dipadukan dengan pemandangan sabana luas dengan bukit-bukit yang menguning.
Menelusuri keindahan warisan geologi Meratus
Selasa, 12 April 2022 14:18 WIB 2435