Jakarta (Antara) - Hutan bagaikan ginjal yang menyaring kotoran berupa karbondioksida (CO2) dan menghasilkan udara bersih berupa oksigen (O2),sehingga seharusnya mudah dipahami semua pihak bahwa keberadaan hutan menjadi vital bagi kelangsungan hidup manusia di bumi.
Tekanan terhadap hutan yang semakin besar seiring dengan meningkatnya kebutuhan lahan untuk memenuhi kebutuhan hidup tujuh miliar penduduk bumi pun sudah disadari semua pihak, bahkan para pemimpin dunia.
Meski demikian, tarik ulur tanggung jawab negara-negara penyumbang emisi karbon terbesar sejak masa praindustrialisasi masih berlangsung. Kesepakatan-kesepakatan pendanaan yang dihasilkan dari konferensi perubahan iklim dunia yang digagas PBB melalui United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) belum juga mengalir.
Dompet-dompet mereka seperti berpeniti. Uang mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dari negara-negara maju yang seharusnya menjadi kompensasi mereka terhadap negara-negara miskin dan berkembang tidak juga dikeluarkan.
Namun di sisi lain, permintaan mereka terhadap produk-produk kebutuhan sehari-hari seperti yang berasal dari hutan atau bahkan yang mengorbankan hutan-hutan hujan tropis terus berlangsung.
Pada saat bersamaan, secara tidak langsung, mereka juga memaksa masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan yang secara turun-menurun bahkan ribuan tahun hidup di dalam hutan harus keluar dari lingkungan hidupnya, demi menghasilkan produk-produk yang mereka butuhkan sehari-hari.
Kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi merata dialami negara-negara pemilik hutan hujan tropis di dunia seperti Brasil, Peru, dan Republik Demokratik Kongo.
Padahal para ilmuwan PBB telah menegaskan bahwa konservasi dapat menjadi poros tengah untuk meringankan krisis iklim. Dan masyarakat hutan memegang kunci untuk solusi dari masalah global tersebut.
Eksistensi masyarakat adat
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan mengatakan citra satelit menunjukkan hutan-hutan yang tersisa yang dimiliki Indonesia hanya yang saling tumpang tindih dengan tempat hidup masyarakat adat.
Motif seperti ini, menurut dia, terjadi di seluruh dunia. Ketika masyarakat hutan di Indonesia, Amazon, atau di mana pun memiliki hak yang kuat atas tanah mereka, mereka mampu lebih besar berkontribusi kepada dunia untuk berperang menghentikan perubahan iklim dengan mempertahankan tegakan pohon terakhir di bumi.
Lahan-lahan yang belum terkelola dengan baik --tidak diolah oleh industrialisasi-- terkadang dijadikan pengembangan aktivitas sumber daya alam, hutan-hutan yang baik justru dibuka untuk alternatif aktivitas ekonomi, termasuk pertanian, pertambangan, dan pengembangan tenaga air.
Nababan mengatakan berdasarkan pengalaman dari perusahaan-perusahaan minyak kelapa sawit dan kertas di Indonesia bahwa tidak memperdulikan isu masa sebuah perusahaan mengolah lahan juga dapat berakhir menjadi masalah besar, dalam beberapa kasus, risiko yang ekstrim harus diambil, apakah investasi mereka di kelapa sawit, infrastruktur, pertambangan, dan kehutanan.
Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, mengatakan sejak awal meminta aksi berani yang fokus pada negosiasi perubahan iklim hanya berujung pada retorika bahkan hanya akan semakin membuat panas karena terlambat penanganan.
Karena itu, Nababan mengatakan pihaknya mendesak PBB dan dunia industri dan politik bekerja sama dengan masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan, bukan justru menentang.
"Apalagi ilmuwan-ilmuwan anda sendiri yang sudah menunjukkan bahwa hutan di tangan kami adalah kunci untuk memecahkan perubahan iklim," ujar dia.
Pemimpin Badan Koordinator untuk Organisasi Masyarakat Adat Amazon Basin (the Coordinating Body for the Indigenous Organizations of the Amazon Basin’s/COICA) Edwin Vasquez mengatakan saat masyarakat adat dan masyarakat hutan memiliki hak yang kuat dan hak tersebut dihormati, maka mereka menjadi salah satu pihak yang mampu menyeimbangkan antara permintaan pertumbuhan ekonomi terhadap perlindungan pada hutan dan keanekaragaman hayati yang tidak ternilai harganya.
Menurut Vasquez yang merupakan perwakilan dari suku Indian Huitoto dari perbatasan Peru dan Kolombia ini, masyarakat adat melakukan segalanya untuk mempertahankan tempat hidup. Rumah-rumah mereka dibuat dengan seimbang dengan apa yang ada di alam.
"Aksi berani untuk kita, dan untuk dunia, tidak akan berdampak kecuali dilakukan bersama dengan mereka yang peduli dengan keberlangsungan hutan dan telah melakukannya ratusan tahun seperti masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan," ujar dia.
Tanah adat di Amazon memberikan contoh untuk kontribusinya menahan laju perubahan iklim. Hak orang-orang Amazon di sembilan negara sebagai pemilik 164 juta ha lahan, yang hampir seluruhnya ditutupi oleh hutan.
"Hutan-hutan ini menyerap 26,25 juta metrik ton karbon dan 96,075 juta metrik ton CO2," ujar Vazquez.
Ia juga mengatakan bahwa masyarakat asli Amazon mengklaim 435 juta ha lahan lainnya yang berada di bawah hukum adat dan untuk kegunaan tradisi, tetapi hak ini tidak diakui.
Karena itu, baik Nababan mau pun Vasquez mengatakan saat ini mereka mulai memetakan tanah dan hutan adat untuk memerangi perlakukan yanga salah terhadap hutan dan tanah adat.
Pengakuan
Peneliti-peneliti di dunia menemukan bahwa eksploitasi secara komersial telah mengambil tanah kelompok masyarakat adat, memicu peningkatan jumlah konflik lahan antara perusahan global dengan masyarakat.
Vasquez mengatakan bahwa masyarakat adat tidak menentang pertumbuhan ekonomi. Tetapi mereka tidak ingin pembangunan jika menghancurkan mereka dan kehidupan mereka.
Ada banyak cara di mana semua pihak --masyarakat adat, pemerintah, dan perusahaan-- dapat bekerja sama untuk mencapai semua tujuan. Meski demikian dibutuhkan saling kepercayaan dan penolakan bersama terhadap praktik-praktik bisnis yang berujung pada bencana lingkungan hidup.
Deputi III Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Arief Yuwono mengatakan hal baik yang telah dilakukan masyarakat lokal sejak lama secara turun-temurun dan terbukti mampu menahan laju pemanasan global harus diakui dan dilanjutkan.
KLH memberikan pengakuan itu melalui Program Kampung Iklim (ProKlim). Pemberian gelar Proklim seperti yang diberikan kepada Desa Mukti Jaya di Rokan Hilir Provinsi Riau dan Desa Mekar Jaya di Jawa Barat dilakukan agar para tokoh penggerak perubahan di tempat tersebut dapat menjadi contoh di daerah lain.
Kelompok masyarakat dan tokoh lokal yang mampu berperan sebagai penggerak pelaksanaan upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, serta ketersediaan instrumen pendukung lainnya merupakan faktor penting yang dievaluasi dalam proses penilaian usulan ProKlim, ujar Arief.
Desa Mukti Jaya di Rokan Hilir melalui Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) menerapan sistem pertanian terpadu dengan peternakan sapi, dimana limbah kotoran sapi digunakan sebagai pupuk, urin sapi sebagai biopestisida, sisa limbah pertanian untuk pakan ternak.
Sedangkan Desa Mekar Jaya di Jawa Barat berhasil membangun satu unit mikro hidro dan mendapatkan bantuan juga dari CSR PLN. Mereka juga melakukan kegiatan mitigasi berupa perlindungan sumber air, pengamanan hutan, dan penanggulangan bencana.
Pada 2012, KLH menerima pengusulan 71 calon lokasi Proklim yang tersebar di 15 Provinsi. Jumlah pengusulan ProKlim tahun 2013 meningkat menjadi 180 lokasi yang tersebar di 14 Provinsi, 69 Kabupaten/Kota. (Antara)
Memberikan hak masyarakat hutan memerangi perubahan iklim
Rabu, 4 Juni 2014 9:15 WIB 54304