BUMN migas dan reformasi sektor energi
Senin, 8 Mei 2023 10:37 WIB 1185
Upaya yang dilakukan adalah mengurangi emisi dari kegiatan operasi dan produksi, termasuk inisiatif memanfaatkan gas suar dan Program Langit Biru untuk mendorong masyarakat menggunakan bahan bakar rendah emisi karbon.
Total emisi GRK yang dapat diturunkan secara akumulasi sejak tahun 2010 pada periode pelaporan mencapai 6,79 juta ton CO2eq.
Perusahaan pelat merah ini juga mengambil peran strategis dalam gasifikasi terintegrasi, membantu pelanggan di sektor transportasi, rumah tangga, dan industri untuk mengurangi emisi.
Di bidang pembangkit listrik, terus meningkatkan pemanfaatan Proyek Energi Baru dan Terbarukan serta Rendah Karbon yang memungkinkan mengurangi jejak karbon.
Selanjutnya menerapkan Carbon Capture, Utilization, and storage (CCUS) dalam peningkatan produksi beberapa ladang minyak dan gas.
Untuk mendorong percepatan transisi energi, yaitu optimalisasi pemanfaatan EBT, dibutuhkan dana besar, bahkan boleh disebut “jumbo”. EBT alami meliputi sinar matahari, angin, dan gelombang laut.
Sementara ada juga yang hasil rekayasa, seperti gas metana baru (coal bed methane), batubaru tercairkan (liquifield coal), gasifikasi batubara (gasified coal), biomassa, biofuel dan biogas.
Pendanaan untuk mendukung transisi energi, tentu tidak cukup bila hanya bersumber dari APBN. Dalam perhitungan BKF (Badan Kebijakan Fiskal) Kemenkeu, kebutuhan pendanaan untuk kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, rata-rata APBN hanya mampu mendanai sekitar 34 persen per tahunnya.
Indonesia memerlukan dana sekitar Rp 254,4 triliun per tahun untuk membiayai pengembangan pembangkit listrik dari EBT sebesar 48,9 GW.
Pengembangan EBT di Indonesia tidak dapat hanya mengandalkan APBN, karena selain masalah kapasitas fiskal, ada sumber pendanaan lain yang belum optimal untuk digunakan, yakni bantuan pendanaan internasional.
Salah satunya dari Green Climate Fund (GCF), entitas global untuk pembiyaan transisi energi di bawah naungan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), dengan kemampuan mobilisasi dana sekitar 20,1 miliar dollar AS.
Transisi energi merupakan salah satu program strategis yang bisa didanai oleh GCF, bagian mitigasi dampak perubahan iklim.
Terlebih komposisi EBT dalam bauran energi nasional sampai tahun 2021, masih dalam kisaran 13 persen, dari target setidaknya 23 persen pada tahun 2025.
Indonesia perlu segera melakukan percepatan pengembangan EBT demi mencapai target bauran energi nasional, selaras dengan diplomasi iklim dalam KTT G20 di Bali dan COP 27 (KTT Perubahan Iklim) di Mesir, akhir tahun lalu.
Berdasarkan realita saat ini soal masih begitu kuatnya PLTU (berbasis batubara), melepaskan diri dari ketergantungan terhadap batubara, bukan perkara mudah.
Merujuk data Kementerian ESDM pada 2022, PLTU batubara masih memasok 67 persen kebutuhan energi listrik nasional. Oleh karenanya, pensiun dini (early retirement) PLTU tidak bisa buru-buru, harus dilakukan secara bertahap.
Strategi dalam meningkatkan komposisi EBT tidak perlu dengan mengganti peran PLTU secara mendadak. Namun bisa dengan cara, saat ada penambahan permintaan daya listrik, langsung disubstitusi seoptimal mungkin dengan sumber energi terbarukan.
Dengan demikian, saat teknologi dan industrinya semakin matang, optimalisasi energi terbarukan bisa stabil. Pertamina pun semestinya bisa mengambil peran lebih besar, terkait dengan keberadaan panas bumi (geothermal), yang menjadi domain perusahaan.
Melibatkan swasta
Sebagai BUMN migas, Pertamina menjalankan komitmennya sebagai motor penggerak transisi energi di Indonesia.