Jakarta (ANTARA) - Setelah 25 tahun reformasi di bidang sosial politik, pada gilirannya semangat reformasi juga terjadi pada sektor energi.
Reformasi di bidang energi ditandai dengan peralihan dari energi fosil ke energi bersih dan hijau, yang biasa dikenal dengan istilah energi baru dan terbarukan (EBT).
Di era Orde Baru, wacana pemanfaatan energi terbarukan masih belum terlalu kuat, dan itu bisa dilihat pada implementasi di lapangan, yang komposisinya dalam bauran energi masih terbilang minim.
Pada era pasca-reformasi, dorongan untuk menggunakan EBT mulai menguat, seiring komitmen Indonesia untuk mencapai emisi nol bersih (net zero emission) pada 2060, atau lebih cepat. Direncanakan pada tahun 2050, PLTU (berbasis batubara) juga sudah tidak ada lagi di Indonesia.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada tahun 2025 dan 31 persen pada tahun 2030. Sementara, Indonesia telah berkomitmen untuk penurunan emisi sebesar 29 persen pada tahun 2030.
BUMN migas pun dituntut mengambil peran yang signifikan dalam transisi energi di Indonesia termasuk Pertamina.
Perusahaan ini harus bisa menjadi lokomotif atau penjuru menuju Indonesia 2045, guna mencapai lingkungan yang bersih dan hijau, lingkungan yang kondusif bagi terbentuknya generasi baru yang lebih sehat dan cerdas.
Pada sejumlah kesempatan, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, ikhtiar transisi energi merupakan respons dari tingginya permintaan energi terbarukan dan bahan bakar rendah karbon, untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) bahan bakar fosil.
Nicke juga mengatakan bahwa Pertamina akan selalu berkontribusi untuk mendukung komitmen pemerintah dalam menurunkan emisi GRK sesuai dengan Paris Agreement (2015).
Pengurangan Emisi
Sejalan dengan komitmen Indonesia untuk penurunan emisi sebesar 29 persen pada tahun 2030, Pertamina mendukung upaya Pemerintah menurunkan GRK dan emisi lain penyebab pemanasan global.
BUMN migas dan reformasi sektor energi
Senin, 8 Mei 2023 10:37 WIB 1214