BUMN migas dan reformasi sektor energi
Senin, 8 Mei 2023 10:37 WIB 1217
Bekerja sama dengan Jababeka, belum lama ini Pertamina menghadirkan bauran energi melalui pembangunan dan pengembangan energi yang lebih ramah lingkungan.
Kerja sama tersebut menghasilkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan kapasitas 230 kilowatt peak (kWp) yang mendukung kebutuhan listrik di Net Zero Industrial Cluster pertama di Asia Tenggara.
Jababeka juga menjadi satu dari 12 Net Zero Industrial Cluster di seluruh dunia. Langkah ini merupakan kerja sama strategis antar keduanya untuk aktif dalam upaya menciptakan ekosistem energi bersih di Indonesia dan dunia.
Dirut PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati menjelaskan, kerja sama ini sangat bermanfaat, tidak hanya menciptakan energi bersih, tapi juga bisa menjadi contoh bagi perusahaan-perusahaan lain.
Menurut dia, kolaborasi Kolaborasi ini sejalan dengan target pemerintah dalam transisi energi. Di samping itu, proyek ini akan memberikan benefit bagi tenant industri di Jababeka dalam meningkatan pemanfaatan energi baru terbarukan.
Pada akhir tahun lalu PT Pertamina juga menandatangani Kerja Sama Proyek Transisi Energi dengan Perusahaan Internasional, yang merupakan parallel event Energy Transitions Working Group (ETWG) Presidensi G20 Indonesia.
Sesuai target tahun 2060, bahwa pemerintah harus memenuhi kebutuhan listrik masyarakat dengan jumlah yang besar, lebih dari 500 gigawatt, dengan bergantung kepada sumber energi yang tersedia di seluruh negeri, seperti matahari, air, panas bumi, arus laut, bioenergi, dan angin.
Maka dari dibutuhkan kerja sama dan kolaborasi dengan berbagai pihak, terutama pihak swasta.
Kontribusi swasta dalam investasi hijau selama ini sebenarnya sudah berjalan. Agar investasinya dalam EBT bisa terus naik, perlu didorong lewat serangkaian insentif, seperti keringanan pajak, serta kepastian regulasi. Kontribusi swasta utamanya dalam pemasangan PLTS atap.
Ketika harga listrik dari PLTS semakin kompetitif dan teknologinya semakin efisien, pemasangan PLTS oleh swasta akan semakin masif.
Pemasangan bisa dilakukan pada atap-atap pabrik, pusat perbenlajaan, gudang atau gedung-gedung besar. Terlebih PLTS atap tidak memerlukan pembebasan lahan, sehingga pemasangan instalasi bisa cepat dilakukan.
Selanjutnya adalah kontribusi dari perusahaan pembangkit listrik swasta (independent power producers), yang beberapa di antaranya juga mengoperasikan PLTU berbasis fosil. Kiranya IPP bisa cepat menyesuaikan dengan rencana strategis nasional dalam transisi energi, untuk kemudian mengalihkan investasinya pada pembangkit energi hijau.
Telah muncul paradigma bahwa investasi “hijau” (ramah lingkungan) adalah bisnis yang prospektif. Bisnis rendah karbon justru meningkatkan profit, dan berdampak positif pada performa korporasi.
*) Dr Taufan Hunneman adalah Dosen UCIC, Cirebon.