Hari masih pagi sekira pukul 06.00 WIB saat Aprizal bergegas mengambil peralatan berupa karung dan linggis berukuran satu setengah meter, lalu memacu roda dua miliknya.
Pelajar Kelas III SMA Negeri 8 Muara Sahung itu terlihat bersemangat memulai harinya. Seperti hari libur lainnya, Minggu (22/2), tujuan remaja berkulit putih itu hanya satu, yaitu Luang Batu Api, lokasi penambangan batu akik.
"Setiap hari libur atau pulang sekolah pasti ke Luang Batu Api," kata anak kelima dari enam bersaudara itu saat ditemui di lokasi penambangan batu akik, Luang Batu Api.
Nama Luang Batu Api cukup terkenal di Provinsi Bengkulu sebagai salah satu lokasi penambangan batu akik yang saat ini tengah digandrungi hampir semua kalangan masyarakat.
Namun, batu akik asal Luang Batu Api lebih terkenal dengan nama batu akik Muara Sahung. Muara Sahung merupakan desa tua yang sudah dimekarkan menjadi beberapa desa, salah satunya Desa Luang Batu Api.
Desa Muara Sahung menjadi ibu kota Kecamatan Muara Sahung Kabupaten Kaur, wilayah paling Selatan Provinsi Bengkulu, berjarak sekitar 200 kilometer dari Kota Bengkulu.
Hingga 2010, warga Desa Muara Sahung dan sekitarnya dikenal sebagai penambang emas di kawasan Tumutan Tujuh, sebuah cekungan di antara dua tebing bukit yang harus ditempuh dengan berjalan kaki selama satu hari.
Namun, sejak harga batu akik membaik dan terus melambung tinggi, para pencari emas beralih menjadi penambang batu akik.
"Mencari batu akik lebih menjanjikan daripada emas, apalagi lokasi penggalian batu akik juga lebih dekat," kata dia.
Pria muda itu sudah merasakan sulitnya menembus hutan untuk mencapai lokasi penambangan emas di Tumutan Tujuh. Sejak duduk di bangku SD, dia sudah diajak ayahnya masuk dan keluar hutan menambang emas secara tradisional.
Saat ini sebagian besar warga desa itu sudah meninggalkan profesi sebagai penambang emas tradisional dan beralih jadi penambang batu akik, termasuk Aprizal dan keluarganya. Mereka sudah bergabung dengan ratusan penambang batu akik lainnya di Luang Batu Api, menggali batu berharga dari perut bumi untuk mendapatkan sejumlah uang.
"Memang sama-sama bergantung rezeki, tetapi lebih berduit menambang batu akik," kata Aprizal.
Ia membandingkan pendapatan saat menambang emas, butuh waktu lebih dari dua hari untuk mendapatkan 5 gram, sedangkan hasil menggali batu akik dapat mencapai puluhan juta dalam sehari.
Penambang emas lainnya yang sudah beralih menjadi penambang batu akik, Hadis, mengatakan bahwa hasil pendapatan dari batu akik bisa mendapatkan satu buah sepeda motor dalam sehari.
"Di sini sudah biasa barter batu akik dengan satu buah motor," kata dia.
Ia memperkirakan lebih dari lima orang warga desa yang menukar bongkahan batu akik dengan sepeda motor dengan berbagai tipe.
Saat ini, kata Hadis, lebih dari 90 persen warga Desa Muara Sahung menjadi penambang batu akik.
Awalnya, batu yang ditambang adalah jenis batu lumut, lalu batu akik motif teratai hingga jenis cempaka dan sulaiman yang memiliki nilai jual tinggi.
Sebagian besar penambang batu akik di wilayah itu menjual bahan mentah atau bongkahan batu dengan harga beragam mulai dari Rp25 ribu per kilogram hingga Rp500 ribu/kg.
Nilai Tambah
Saat mengunjungi lokasi penambangan yang berada di pinggir jalan penghubung antara Desa Muara Sahung dan Desa Luang Batu Api, para penambang mulai menggali tanah untuk mencari batu akik sejak pukul 06.00 WIB hingga pukul 18.00 WIB.
Mulai pukul 16.00 WIB, sejumlah kendaraan roda empat dan roda dua sudah terparkir di pinggir jalan. Pemilik kendaraan tersebut tidak lain adalah pembeli bongkahan batu akik, lalu transaksi terjadi di lokasi tersebut.
"Di sini tidak ada pedagang pengumpul, penambang batu dan pembeli bertemu langsung dan transaksi menggunakan uang tunai," kata Sarmadi, pembeli bongkahan batu akik.
Ia mengatakan bahwa pembeli tidak hanya dari wilayah Provinsi Bengkulu, tetapi juga datang dari Lampung, Palembang (Sumatra Selatan), hingga Kota Jakarta.
Penjualan batu akik dalam bentuk mentah itu membuat Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Kaur memprogramkan pelatihan pengolahan batu akik sehingga memiliki nilai tambah bagi warga setempat.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Kaur Agusman Efendi telah melatih puluhan perajin batu akik untuk meningkatkan kapasitas mereka mengolah sumber daya alam itu.
"Kami memberi pelatihan gratis bagi perajin batu akik untuk meningkatkan keahlian mereka sehingga yang dijual bukan bahan mentah," kata Agusman.
Ia mengatakan bahwa selama ini bahan batu akik dari daerah itu langsung dikirim ke luar daerah, sedangkan perajin setempat hanya bisa mengolah akik menjadi batu cincin.
Dengan peningkatan kapasitas tersebut, kata dia, para perajin dapat mengolah batu akik menjadi berbagai kerajinan untuk meningkatkan nilai tambah guna menyejahterakan masyarakat di daerah itu.
Para perajin tersebut, kata Agusman, dilatih oleh para instruktur asal Sukabumi, Jawa Barat. Empat orang instruktur atau pelatih pembuat kerajinan akik didatangkan oleh Pemerintah Kabupaten Kaur dan sudah dikontrak selama dua tahun.
Ia mengimbau warga yang ingin meningkatkan kemampuan mengolah batu akik agar bergabung di gedung workshop batu akik di samping Kantor Disperindag Kaur.
Pemerintah Kabupaten Kaur juga akan mendirikan pusat batu akik atau "gems center" di kompleks Taman Bhineka, Kaur.
Selain memamerkan batu akik khas Kaur dan cara pengolahannya, pusat batu akik tersebut juga akan menampung hasil kerajinan batu akik dari para perajin.
"Nanti semua karya perajin batu akik akan tersedia di sini. Jadi, pengunjung tidak perlu repot mencari galeri perajin," ujar dia.
Fenomena batu akik ibarat perumpamaan yang berbunyi "ada gula ada semut". Batu akik ibarat gula yang diburu dan dikerumuni para penambang.
***3***
Ketika batu mengalahkan emas
Selasa, 24 Februari 2015 16:04 WIB 3045