Jakarta (ANTARA) - "Sring...sring...", suara besi beradu benda keras sesekali terdengar di sudut Pasar Rawa Bening, Jakarta, pasar batu mulia dan akik yang sempat fenomenal beberapa tahun silam.
Selain pedagang, di pasar itu juga berkumpul para pengrajin akik yang menawarkan jasa sekadar poles hingga bikin akik mulai dari nol, alias bahan mentah.
Mereka menempati satu ruangan di pojok. Tak luas memang, tapi tak juga terlalu sempit. Buktinya, orang-orang masih bisa berjalan di sela-sela mereka bekerja.
Setiap hari, mereka bergelut dengan mesin gerinda untuk mengasah batu akik. Dari batu mentah berbentuk bongkahan pun bisa mereka sulap jadi batu akik nan cantik.
Adalah Pambudi, pria asal Bumiayu, Brebes, Jawa Tengah, satu di antara 30 pengrajin akik yang ada di Pasar Rawa Bening, Kecamatan Rawa Bunga, Jakarta Timur.
Tangannya cekatan mengoperasikan mesin gerinda yang sudah dimodifikasi jadi alat asah batu akik. Sesekali, batunya dicelup ke air, diamati, kemudian diasah lagi.
"Nggarap beginian harus sabar biar presisi. Ini dikasih air biar enggak pecah (batunya) karena diasah kan panas," ujar bapak tiga anak itu.
Tidak terasa, sudah delapan tahun pria berkaca mata itu menjadi pengrajin batu akik. Masa kejayaan batu akik pun sempat dialaminya pada kisaran 2010 hingga 2015.
Dulu, hampir tiap hari Pambudi kewalahan menerima order. Bahkan, ruang kecil tempat para pengrajin akik bekerja sampai penuh tak mampu menampung pelanggan.
Berbeda dengan sekarang, dapat satu garapan setiap hari sudah harus disyukurinya meski terkadang hanya cukup buat makan, daripada tidak dapat order sama sekali.
"Dulu sehari saya bisa dapat Rp500-700 ribu per hari, sekarang sehari dapat Rp100 ribu saja sudah untung," katanya, seraya bersyukur belum pernah seharian tak dapat garapan.
Kebutuhan tersier
Pambudi tak sendiri, masih ada puluhan pengrajin akik lainnya yang bernasib sama. Mereka merindukan masa kejayaan batu akik terulang kembali.
Namun, batu akik bukanlah kebutuhan primer laiknya pakaian, makan, dan tempat tinggal, bukan pula kebutuhan sekunder yang bisa dipenuhi setelah kebutuhan primer tercukupi.
Batu akik, seperti halnya perhiasan yang sering digolongkan sebagai kebutuhan tersier alias mewah. Itulah kenapa tren akik cepat sekali berubah bak gaya hidup.
Koordinator Pimpinan Kolektif Asosiasi Puspa Cakra, Junaedi menuturkan bahwa kebutuhan tersier tidak mungkin terpenuhi jika kebutuhan dasar manusia saja belum tercukupi seiring lemahnya daya beli masyarakat.
Untuk mengembalikan kejayaan batu akik, daya beli masyarakat harus ditingkatkan karena orang tidak akan beli perhiasan jika kebutuhan dasarnya saja tidak terpenuhi.
Jumlah pedagang batu di Pasar Rawa Bening pun menyusut sekitar 30 persen. Dari zaman booming sampai 900-1.000 pedagang, sekarang tinggal 700-750-an pedagang. Itu sudah termasuk pengrajin yang membuka jasa gosok batu akik.
"Persoalannya, sekarang ini daya beli masyarakat lemah. Istilahnya, kalau orang cari makan aja susah, masak mau beli perhiasan?" kata sosok kalem dan supel itu.
Namun, karena kesenangan, soal harga pun tak ada patokan pasti. Batu akik mulai harga ribuan hingga ratusan juta rupiah bisa ditemui di pasar yang diresmikan pada 2010 itu.
Jenisnya beragam, sebut saja batu giok dari Aceh, batu pandan khas Jakarta, batu marjan dari Sumatera Selatan, batu Bacan dari Maluku, hingga Papua dengan batu Cyclopnya.
Beda dengan batu mulia yang harganya dihitung per karat dan kekerasannya harus di kisaran skala 7-10 Mohs, batu akik tidak demikian. Semakin susah dan banyak orang mencari, semakin mahal pula harganya.
Karakteristik batu akik dari masing-masing daerah pun berbeda. Cyclop dari Papua yang bening cerah berwarna-warni kontras dengan batu pancawarna dari Jawa Barat yang coraknya beragam.
Pernah suatu ketika batu Bacan meroket harganya, sekali waktu bisa disalip popularitasnya oleh batu Cendana Indah Bengkulu Indonesia (CIBI) khas Bengkulu, begitu seterusnya.
Kontes dan promosi
Ketika masih booming, hampir tiap waktu selalu ada kontes atau lomba batu akik di setiap daerah. Tak terkecuali, di Pasar Rawa Bening Jakarta.
Bahkan, saat tren batu akik mulai meredup di akhir 2015, Pasar Rawa Bening masih meneruskan tradisi kontes hingga tiga tahun sesudahnya dan kabarnya berlangsung sukses.
Pameran dan Kompetisi Gemstone di Pasar Rawa Bening pada 2016, sukses menggaet peserta dari luar negeri, seperti Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam.
"Pada 2017 masih kami adakan kontes batu, ramai juga," kata Kepala Pasar Rawa Bening Jakarta Dede Waskita, sembari memamerkan poster kontes akik 2016 yang masih tersimpan.
Dede baru menjabat kepala Pasar Rawa Bening, ketika meredupnya tren batu akik, namun tradisi kontes batu digelarnya hingga 2018, kecuali tahun ini yang memilih absen karena tahun politik.
Tahun depan, pengelola Pasar Rawa Bening berencana menggelar lagi kontes batu akik. Siapa tahu, mampu membuat tren akik kembali berkilau.
Di mata penghobi, seperti Cut Putri Alyanur, batu akik lebih dari sekadar soal kesenangan, tetapi kebanggaan terhadap kekayaan bumi pertiwi karena Indonesia adalah surganya batu akik.
Hampir semua batu akik khas setiap daerah di Indonesia dikoleksinya. Stigma hobi batu akik yang selama ini melekat pada kaum Adam berhasil ditepis perempuan asal Tanah Rencong itu.
Ditemui di sela menunggui pesanan batu Pirus miliknya, perempuan berhijab itu berharap pemerintah berperan aktif menggeliatkan kembali tren batu akik karena menghidupi banyak orang, termasuk pengrajin akik.
Promosi, utamanya harus digencarkan. Pada setiap pertemuan berskala internasional, batu akik khas berbagai daerah di Indonesia bisa dikenalkan kepada para delegasi.
"Pak Jokowi kalau ke pertemuan-pertemuan tingkat dunia bisa kasih batu sebagai hadiah. Batu dari mana dulu, nanti giliran daerah mana lagi," kata Kepala Anjungan Aceh di TMII itu.
Menengok sisa kejayaan batu akik di Rawa Bening
Jumat, 12 Juli 2019 14:47 WIB 4046