China mulai pragmatis sikapi perang Ukraina-Rusia
Senin, 7 Agustus 2023 16:28 WIB 8604
Hal itu bisa terlihat dari laporan South China Morning Post pada 17 Desember 2022, tentang konferensi tahunan pakar internasional China yang digelar oleh salah satu corong pemerintah China, Global Times.
Dalam forum itu, dua pakar hubungan internasional dari Universitas Nanjing dan Universitas Tsinghua, meminta China bersiap menghadapi skenario bahwa akhir perang di Ukraina tidak seperti diharapkan China dan terjadi berlarut-larut.
"Kemungkinan perang itu menjadi berkepanjangan adalah tantangan strategis terbesar dan ketidakpastian paling suram bagi dunia," kata Zhu Feng dari Institut Hubungan Internasional pada Universitas Nanjing, China.
Zhu khawatir era pasca-Putin datang lebih awal, tak peduli era itu menghasilkan rezim yang condong ke Barat atau makin anti-Barat. Zhu tak ingin China berjudi dengan skenario itu, karena bakal merugikan China dan bahkan mengancam kemitraan strategis dengan Rusia.
Sementara itu, Direktur Institut Riset pada Universitas Tsinghua Wu Dahui menilai keunggulan Rusia dalam medan perang di Ukraina sudah memudar, sama halnya dengan kekuatan ekonominya. Situasi ini seharusnya mendorong China untuk lebih adaptif.
"Kita semestinya menggunakan kesempatan ini untuk menciptakan hubungan yang lebih pragmatis," kata Wu.
Baca juga: Rusia luncurkan visa elektronik untuk 55 negara
Dan pragmatisme itu, kemudian, salah satunya terlihat dari kesediaan China untuk hadir di Jeddah, padahal konferensi ini tak dihadiri Rusia. Sebelum ini sulit membayangkan China mau menghadiri forum membahas perang Ukraina, tanpa kehadiran Rusia.
Apalagi China terikat dalam kemitraan tanpa batas dengan Rusia yang ditandatangani Presiden Xi Jinping dan Presiden Putin sebelum invasi Rusia di Ukraina.
Bahkan, dalam bungkus kemitraan seperti itu, China tak pernah memasok senjata kepada Rusia, kendati tak putus membeli minyak Rusia dan memasok teknologi tinggi kepada Rusia.
Yang terjadi kemudian, pemerintah China tampaknya sudah bosan dengan perang di Ukraina itu karena jika terlalu lama dapat menciptakan erosi pada citra China di Eropa, padahal China ingin membuat terobosan ekonomi dan politik di sana.
Mungkin karena itu China memutuskan berangkat ke Jeddah, apalagi mereka pernah mengajukan rancangan perdamaian di Ukraina, yang ditolak Barat. Namun Rusia juga tak begitu menyambutnya karena proposal itu tak eksplisit mendukung pencaplokan wilayah-wilayah Ukraina oleh Rusia.
China kini terlihat berusaha keras mendorong pengakhiran perang di Ukraina karena jika dibiarkan berlarut-larut tidak saja merugikan kepentingan China, tapi juga bisa melemahkan Rusia, padahal China membutuhkan Rusia yang kuat sebagai benteng dalam menghadapi dominasi Amerika Serikat.
Bulan-bulan krusial
Perkembangan di medan perang saat ini membuat China khawatir, setelah Rusia bukan lagi menjadi kekuatan di atas angin, sebaliknya dalam posisi yang sangat defensif.