Jakarta (ANTARA News) - "Aku tidak suka gelap dan aku tidak bisa tidur dalam gelap," ucap Keiko.
"Aku tidak akan pernah melepaskanmu", "Apa kamu bisa melepaskan Akira?", tanya Kazato.
"Aku segera kembali ke New York, mau kah kamu ikut dengan ku?," ajak Yuri.
Di atas merupakan deretan dialog yang diucap para tokoh di film terbaru besutan Fajar Bustomi yang diangkat dari novel laris karya Ilana Tan berjudul sama, "Winter in Tokyo".
Menarik, ketika tidak banyak film menggunakan bahasa Indonesia yang baku, film yang akan tayang pada 11 Agustus tersebut memilih untuk tidak menggunakan bahasa "gaul".
Terkesan kaku dan terasa sedikit aneh pada awalnya, namun hal itu telah dipikirkan benar-benar oleh Fajar dan kawan-kawan yang ternyata sengaja mengusung konsep "film Jepang yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia".
"Pemilihan bahasa baku dari awal sudah kami bicarakan terutama setelah membaca novelnya ada kesadaran bahwa semua karakternya adalah orang Jepang dan kami tidak mau menghilangkan itu di film," kata Titien Wattimena, dalam temu media di Jakarta, Senin (1/8).
"Kami juga tidak mungkin memakai sepanjang film bahasa Jepang, tapi kalau memakai bahasa Indonesia dan bahasa "gaul" jadinya aneh ketika orang Jepang berbahasa Indonesia tapi "gaul"," sambung dia.
Sementara itu, para aktor terbilang sukses menyelipkan sejumlah bahasa Jepang dalam dialognya. Intonasi dan logat yang mereka ucapkan bagai menonton film atau drama yang dibintangi Yuki Furukawa.
"Untuk bahasa Jepang ada coach-nya, kami belajar selama dua minggu di Indonesia sebelum ke Jepang, dan di Jepang juga belajar bahasa yang benar," ujar Morgan.
"Winter in Tokyo" berkisah tentang Ishida Keiko (Pamela Bowie), gadis yang tinggal di sebuah apartemen di pinggiran kota Tokyo.
Kedatangan Nishimura Kazuto (Dion Wiyoko) sebagai tetangga barunya, yang kembali ke Jepang setelah lama tinggal di Amerika, membuat hidup Keiko jadi lebih berwarna.
Kebersamaan mereka di sepanjang musim dingin menimbulkan benih cinta di hati Kazuto. Namun, Keiko malah memilih cinta pertamanya, Kitano Akira (Morgan Oey).
Hingga di suatu pagi, Kazuto terbangun dan tidak bisa mengingat apapun, bahkan semua yang terjadi antara dia dan Keiko. Dia hanya bisa mengingat cerita lama tentang perempuan yang dia cintai Iwamato Yuri (Kimberly Ryder).
Mendengar musibah yang menimpa Kazuto, Yuri pun ke Tokyo. Pada saat itulah Keiko baru menyadari perasaannya yang sebenarnya. Kazuto berusaha mengembalikan ingatannya, sementara Keiko berusaha melupakan semuanya.
Dari sinopsis cerita, bisa ditebak film tersebut adalah film "cinta-cintaan", tak ayal seperti menonton film televisi dengan layar yang lebih lebar dan berlatar negeri Sakura.
Namun, alur cerita semakin meningkat memasuki tahapan klimaks, resolusi, hingga akhir. Latar dan setting pun terasa bukan hanya sekedar pemanis tapi membuat suasana dan perasaan lebih romantis.
Kota Tokyo yang terkenal sibuk dan padat disulap menjadi lengang dengan lebih banyak ruang. Terasa mengganjal, memang, namun pas jika unsur romantisme ingin ditonjolkan.
Saat adegan di stasiun kereta api misalnya, hanya ada Kazato dan Keiko, tidak nampak penumpang lain di sekitar mereka, setidaknya satu-dua pintu kereta di sekeliling mereka berdua.
Usaha Fajar dan kawan-kawan untuk mendapat adegan tersebut patut diacungi jempol mengingat Jepang terkenal sangat ketat dengan peraturannya.
"Untuk adegan di stasiun kami memang ada izin resmi, ada dukungan dari pemda sana, karena mbak Titien banyak titip pesan bahwa scene itu enggak boleh sembarangan karena scene itu salah satu scene penting yang enggak boleh dibuat sembarangan," kata Fajar.
Tidak hanya itu, kereta Shinkansen yang tiba dan berangkat sangat cepat dan tepat waktu juga menjadi tantangan tersendiri. Beruntung pihak Shinkansen, menurut Fajar sangat kooperatif.
Mereka membantu mengarahkan para penumpang untuk turun dan naik di pintu tertentu, sehingga Fajar dapat mengambil gambar yang sesuai dengan yang dia inginkan.
"Untuk kereta, orang keretanya sudah memberi jadwal yang ini berapa menit, yang ini berapa menit, jadi kalau mau take break down-nya harus sudah dipikirkan mau mengambil yang lebar-nya dulu atau long shot-nya dulu, itu sudah kami pikirkan," lanjut dia.
Sementara itu, faktor cuaca menjadi kendala lain. Para pemain yang terbiasa dengan panasnya kota Jakarta harus beradaptasi dengan dinginnya kota Tokyo. Bahkan, membuat pemeran utama wanita, Pamela Bowie, beberapa kali mimisan.
"Waktu itu jam setengah satu malam, aku ingat itu dua derajat, aku sudah menghapal banyak dialog, dan tiba-tiba itu harus diganti semua karena bahasanya terlalu baku kalau menurut orang Jepang," ujar Pamela.
"Ada gaya bahasa dan dialog yang harus diubah, dan akhirnya saat itu berubah dan harus dihafal. Benar-benar pusing kepala enggak bisa menghapal, brain freeze! tapi pelan-pelan, duduk bentar, bisa juga akhirnya," sambung dia.
Kesulitan dalam berakting juga dirasakan oleh pemeran utama pria, Dion Wiyoko. Aktor yang juga pemandu acara wisata itu merasa scene saat hujan menjadi scene terberatnya.
"Waktu itu empat derajat ditambah hujan buatan, plus angin dan itu seharian scene hujan-hujanan dengan dialog yang cukup panjang, bibir beku, kaku banget, ngomong saja susah, tapi pengalaman luar biasa," kenang Dion.
Duet akting Pamela dan Dion bisa disebut cukup menarik. Namun, akting Dion bisa dikatakan lebih kuat dibanding Pamela. Wajar jika mengetahui bahwa film ini merupakan film pertama dirinya didapuk sebagai pemeran utama wanita.
Sementara Dion dengan catatan panjang film yang telah dibintanginya dan sempat menjadi pemeran utama pria di film biopic "Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar", akting Dion dalam "Winter in Tokyo" sangat menjanjikan.