Ikan tai (red sea bream) merupakan salah satu jenis ikan yang banyak ditemukan di Laut Jepang dan Laut Pasifik Utara. Selain hidup di laut lepas kedalaman 30-200 meter, ikan ini juga dibudidaya di prefektur Ehime dan Mie.
Ikan yang sekilas menyerupai ikan kakap merah ini biasa dikonsumsi dengan nasi (sushi) atau dimakan mentah (sashimi), seperti laiknya hidangan ikan yang banyak ditemukan di restoran-restoran Jepang di Indonesia.
Beberapa waktu lalu, Kedutaan Besar Jepang di Indonesia memperkenalkan hidangan berbahan ikan tai kepada sejumlah jurnalis di Jakarta.
Dua jenis hidangan ikan tai, yakni sashimi (sugata-zukuri) dan nasi ikan (tai-meshi), dimasak khusus oleh juru masak kediaman Duta Besar Jepang, chef Hori.
Chef Hori pertama-tama menjelaskan dan mempraktikkan ike-jime, yaitu teknik memotong nadi di dekat insang ikan yang masih hidup untuk mengalirkan darah ikan, untuk menjaga rasa dan kualitas.
Bagi orang Jepang yang terbiasa menyantap ikan dalam keadaan mentah, darah harus dihilangkan terlebih dahulu karena membuat ikan terasa amis dan ikan harus sesegera mungkin dipotong ketika masih hidup agar tidak banyak perlawanan.
"Perlawanan atau penderitaan ikan akan mengurangi rasanya," tutur chef Hori.
Jika tidak langsung diolah setelah ditangkap, ikan harus segera dimasukkan dalam ruangan atau lemari pendingin. Teknik ini disebut nojime.
Tai-meshi dimasak dengan bahan-bahan, antara lain beras Jepang, kaldu yang sudah dimasak dengan shoyu, garam, dan bumbu-bumbu, serta daging ikan. Kaldu diperoleh dari rebusan air dan tulang-tulang ikan yang terlebih dahulu dipanggang agar mengurangi bau amis ikan.
Perbandingan komposisi beras dan air adalah 1:1, kemudian dimasak dalam wadah tanah liat selama 30 menit hingga mendidih dengan menggunakan api besar.
Setelah mendidih, yang ditandai dengan uap panas keluar dari lubang di atas tutup wadah, api dikecilkan kemudian ditunggu kembali 12 menit.
Setelah itu, matikan api dan proses terakhir adalah menata irisan ikan tai di atas nasi yang telah masak kemudian ditutup dan ditunggu 20 menit. Irisan ikan di atas nasi akan matang dengan uap panas yang berasal dari nasi.
Setelah matang, tai-meshi tinggal disajikan dalam mangkuk-mangkuk kecil dan dimakan menggunakan sumpit.
Untuk membuat sugata-zukuri, sebenarnya prosesnya lebih simpel. Ikan tai yang sudah dibersihkan dari sisik, darah, dan organ-organ dalam, dipotong dan dipisahkan dari tulang serta kulitnya (fillet).
Daging ikan yang sudah terpisah dari tulang dan kulit dapat dipotong secara dua jenis berdasarkan serat ikan, yakni bentuk potongan datar (hirazukuri) dan bentuk potongan melengkung (sogizukuri).
Orang Jepang sendiri mengklaim cara pemotongan daging ikan akan memengaruhi tekstur daging saat dimakan. Potongan hirazukuri dagingnya terasa lebih liat, sedangkan potongan sogizukuri dagingnya terasa lebih lunak.
"Yang harus diperhatikan dalam proses membuat sashimi adalah kebersihan pisau dan talenan karena ikan akan dimakan dalam keadaan mentah," ujar chef Hori.
Sashimi biasanya disantap dengan sayur yang bisa juga difungsikan sebagai penghias (garnish), yaitu lobak, wortel, timun, daun oba, dan wasabi.
Selain menjadi pelengkap, sayuran tersebut berguna untuk mengurangi rasa amis ikan dan membuat mulut menjadi lebih segar.
Setelah kedua jenis hidangan disajikan, para jurnalis Indonesia dipersilakan mencicipi dan memberi komentar atas olahan ikan tai.
Meskipun bukan penggemar ikan mentah, Antara tetap mencoba sugata-zukuri karena terdorong rasa penasaran. Ternyata rasa daging ikan berwarna putih itu tidak mengecewakan. Bau dan rasa amis ikan boleh dikatakan sama sekali hilang, meskipun tidak disantap bersama dengan lobak atau wortel.
Dengan cara menyantap seperti ini, para penggemar kuliner Jepang bisa merasakan tekstur asli ikan tai yang liat sekaligus empuk --mirip sashimi ikan salmon.
Sedangkan daging ikan tai dalam tai-meshi rasanya sangat gurih, pas dicampur dengan nasi Jepang yang pulen dan bertekstur agak lengket.
Kedua hidangan ikan tai tersebut menjadi makin lengkap saat disantap dengan sup yang berisi tahu dan rumput laut.
Meski bumbu dan cara memasaknya terbilang sederhana, olahan ikan tai menjadi primadona dalam acara pengenalan kuliner Jepang siang itu.
Filosofi Kebahagiaan
Dalam budaya Jepang, ikan tai mengandung arti khusus, yakni kebahagiaan. Ikan ini sering disajikan dalam berbagai perayaan atau "omedetai" dalam bahasa Jepang, terutama resepsi pernikahan.
Ikan berwarna merah dan putih ini juga dianggap pilihan kuliner tepat untuk merayakan 60 Tahun Hubungan Diplomatik Indonesia-Jepang yang rangkaian acaranya telah dibuka pada 19 Januari lalu.
"Warna ikan tai yang memiliki corak merah dan putih sama dengan warna bendera Indonesia dan Jepang yang juga memiliki dua komposisi warna tersebut," kata Duta Besar Jepang untuk Indonesia Masafumi Ishii.
Jenis ikan ini dianggap sangat berharga oleh masyarakat Jepang, sampai-sampai ada pepatah berbunyi "walaupun busuk tetap ikan tai".
"Karena harganya yang mahal, orang Jepang sangat menghargai ikan tai meski kesegarannya sudah berkurang," ujar chef Hori.
Ikan tai yang ditangkap dari laut bebas dijual dengan harga sekitar Rp2 juta per kilogram saat sudah sampai di Indonesia, sementara harga ikan hasil budi daya hanya Rp500 ribu per kilogramnya.
Selain itu, orang Jepang memasang harga berbeda untuk sisi atas (uwami) ikan dan sisi bawah (shitami) ikan. Di Jepang, ikan utuh selalu dijajakan atau disajikan dengan kepala menghadap ke kiri dan perut di bagian bawah si pembeli atau penyantap.
"Uwami lebih berharga daripada shitami karena sisi bagian bawah harus menanggung beban bagian atas sehingga rasanya sedikit berkurang," kata chef Hori.
Ikan tai paling enak adalah yang ditangkap saat musim semi (sakura tai) karena sedang dalam masa bertelur sehingga kandungan gizinya paling tinggi, serta yang ditangkap pada saat musim gugur (momiji tai) karena ikan sedang dalam masa pemulihan stamina setelah bertelur jadi energinya tinggi.
Dalam kepercayaan masyarakat Jepang, ikan tai juga melambangkan kemakmuran karena Ebisu, dewa kemakmuran dan kekayaan, digambarkan memakai kostum nelayan, membawa pancing dan ikan jenis ini.
Sosok Dewa Ebisu umumnya dijumpai di restoran-restoran yang menyajikan hidangan ikan atau di dapur rumah tangga Jepang.