Matahari sudah condong ke Barat saat Safri turun ke muara Sungai Air Manjunto. Saat air surut, ayah tujuh anak itu memasang jaring atau alat tangkap kepiting di dalam hutan mangrove atau bakau di tepi muara sungai.
"Besok pagi akan diperiksa. Biasanya selalu ada kepiting yang nyangkut," ucap nelayan penangkap kepiting bakau itu saat ditemui di muara Sungai Manjunto, pekan lalu.
Mencari dan menangkap udang dan kepiting bakau adalah mata pencaharian utama Safri. Ia dan 35 orang nelayan Desa Pasar Sebelah Kecamatan Kota Mukomuko Kabupaten Mukomuko, Bengkulu merupakan anggota kelompok Kepiting Bakau Pasar Sebelah.
Masyarakat nelayan yang bermukim di pesisir Pantai Barat Sumatera itu menggantungkan mata pencaharian dari kekayaan alam yang terdapat di dalam ekosistem mangrove.
"Setiap hari kami mencari udang dan kepiting di muara untuk mendapatkan uang menghidupi keluarga," tutur Safri.
Saat musim udang dan kepiting, Safri bisa mendapatkan uang Rp300 hingga Rp400 ribu per hari. Sedangkan pendapatan paling minim sebesar Rp100 ribu per hari.
Ketua Kelompok Kepiting Bakau Pasar Sebelah, Sabra mengatakan setiap hari tidak kurang dari 500 kilogram kepiting bakau tangkapan nelayan dari muara sungai itu.
"Biasanya kami jual ke pembeli yang akan mengirim ke Padang dan sebagian dijual ke pasar di Mukomuko," ujarnya.
Ia mengemukakan kelompok yang dibentuk pada 2008 itu untuk mewadahi koperasi nelayan, sekaligus pembinaan masyarakat tentang perlindungan dan fungsi ekosistem mangrove.
Mangrove muara Sungai Air Manjunto cukup dikenal sebagai satu-satunya lokasi penghasil kepiting bakau di wilayah kabupaten yang berbatasan dengan Sumatera Barat itu.
Anggota Kelompok Kepiting Bakau Pasar Sebelah bahkan menjadi pemasok bibit bagi pembudidaya kepiting soka di wilayah itu.
Keberlanjutan profesi para nelayan muara dengan tangkapan utama yakni udang dan kepiting tersebut tidak terjadi begitu saja.
Sejak tahun 2000 masyarakat pesisir itu proaktif menjaga dan melestarikan ekosistem mangrove sepanjang 8 kilometer dengan ketebalan 50 meter yang membentang hingga ke pesisir Pantai Pasar Sebelah.
Benteng Tsunami
Adalah Kepala Desa Pasar Sebelah, Tabrani salah seorang perintis pelestarian ekosistem mangrove Muara Air Sungai Manjunto.
Thabrani mengatakan tak hanya keuntungan ekonomi, mangrove juga menjadi benteng tsunami bagi Bengkulu yang rawan gempa bumi.
"Sebelum tsunami Aceh, kami masyarakat di sini sudah melindungi mangrove sebagai benteng penahan ombak," ungkap Thabrani.
Pada akhir tahun 2000, wilayah Bengkulu dilanda gempa berkekuatan 7,5 pada skala Richter.
Gempa bumi kembali mengguncang Bengkulu pada 2007 dengan skala yang lebih besar yakni 7,9 Richter, dan wilayah Mukomuko merupakan yang terparah sehingga menimbulkan tsunami kecil setinggi satu meter.
"Kala itu hutan mangrove yang menahan ombak sehingga desa tidak terendam air laut," kenangnya.
Untuk melindungi mangrove yang ada di sekitar desa mereka, pada 2005 dibentuk peraturan desa yang mengatur tentang perlindungan mangrove di Pasar Sebelah.
Perlindungan yang dimaksud adalah larangan merusak mangrove serta hutan cemara yang tumbuh di pinggir pantai.
Sanksinya cukup berat. Bila merusak pohon mangrove wajib membayar ganti rugi sebesar Rp2,5 juta per batang.
Peraturan desa tersebut efektif. Sejak diberlakukan, hanya sekali terjadi pengambilan pohon mangrove untuk tiang pancang pembangunan rumah.
"Itu pun warga dari desa tetangga yang mengambil dan kami upayakan damai," imbuhnya.
Thabrani mengatakan warga desa yang berjumlah 315 kepala keluarga sepakat menjaga mangrove di wilayah itu. Bahkan pada 2008, masyarakat menanam sebanyak 12 ribu bibit mangrove di atas lahan seluas empat hektare di muara sungai tersebut.
Kini, bibit mangrove yang ditanam warga sudah berumur enam tahun dengan tinggi pohon mencapai lima hingga delapan meter dan menjadi habitat ikan, udang dan kepiting bakau.
"Kalau masyarakat yang menanam dan merawat dan mereka mengerti fungsinya, biasanya akan berhasil," tambah dia.
Menurut mantan Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) Pasar Sebelah ini, tidak hanya anggota Kelompok Kepiting Bakau, setiap orang bebas mengambil ikan, udang dan kepiting di muara itu.
"Bahkan dari desa lain juga bisa, asalkan mematuhi peraturan desa kami, tidak boleh merusak mangrove," katanya.
Penyimpan Karbon
Hutan mangrove atau disebut juga hutan bakau adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut.
Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik.
Dosen Jurusan Kehutanan Universitas Bengkulu, Gunggung Senoaji mengatakan hutan mangrove memiliki beragam fungsi, termasuk penyerap karbon.
"Selain sebagai tempat pemijahan ikan, pelindung dari abrasi pantai dan sebagai sumber pangan, mangrove juga menyimpan karbon," papar dosen yang tengah membimbing empat orang mahasiswa peneliti mangrove Bengkulu ini.
Mangrove di Desa Pasar Sebelah menurut dia merupakan salah satu lokasi riset guna mengukur serapan karbon dengan membuat 31 plot penelitian atau seluas 3.100 meter persegi.
Sejumlah lembaga riset kata dia telah merilis serapan karbon di hutan mangrove primer sebesar 170 ton per hektare dan mangrove sekunder sebanyak 120 ton per hektare.
Menurut Gunggung, sebagai ekosistem yang menyerap karbon, hutan mangrove perlu dilestarikan sebagai langkah mitigasi perubahan iklim.
Apalagi mangrove Indonesia menjadi bagian dari Program Karbon Biru atau "Blue Carbon" yang ditargetkan bisa mendukung komitmen Indonesia menurunkan emisi karbon secara sukarela hingga 26 persen pada tahun 2020 dan hingga 41 persen dengan dukungan internasional.
Dari pengamatan lapangan kata dia, secara umum ancaman kerusakan mangrove di wilayah Provinsi Bengkulu antara lain untuk permukiman, kebun sawit dan tambak ikan atau udang.
"Inisiatif masyarakat untuk menjaga dan melestarikan sangat perlu diapresiasi dan didukung," ujarnya.
Dari penelitian empat orang mahasiswa di empat lokasi vegetasi mangrove antara lain di Kabupaten Seluma, Kota Bengkulu dan Mukomuko menurutnya akan memberi gambaran tentang potensi mangrove Bengkulu, ancaman kerusakan serta habitat yang masih bisa direhabilitasi.
Ketua Tim Percepatan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Badan Lingkungan Hidup Bengkulu pada 2014 ini mengatakan, khusus di Bengkulu, mangrove primer hanya tersisa di Pulau Enggano, dengan luasan lebih dari 1.700 hektare.
Sementara Ketua Komunitas Mangrove Bengkulu Riki Rahmansyah mengatakan semua orang bisa terlibat dalam mengantisipasi perubahan iklim salah satunya dengan menjaga dan melestarikan mangrove.
Karena itu, sejak 2010 komunitas ini mendorong masyarakat untuk terlibat langsung melindungi dan merehabilitasi mangrove di wilayah Kota Bengkulu.
"Kami bersama anggota karang taruna dan kelompok masyarakat pesisir menanam kembali vegetasi mangrove di empat muara sungai di Bengkulu," ucapnya.
Empat sungai dan anak sungai yang sudah direhabilitasi yakni muara Sungai Jenggalu, muara Sungai Bengkulu, muara Sungai Hitam dan anak sungai Pondok Besi.
Tidak hanya menanam, komunitas yang beranggotakan para mahasiswa dan masyarakat umum itu juga rutin memantau dan memelira mangrove yang ditanam.
Riki berpendapat, ketika semua orang mau bekerja sama, melakukan secara serentak dan berkelanjutan, maka hal-hal kecil dapat memicu perubahan besar bagi masyarakat dan dunia.***1***