"Kesunyian merupakan unsur penting untuk disiplin batin bagi seorang pencinta kebenaran. Kecenderungan untuk melebih-lebihkan, mengabaikan, atau mengubah kebenaran, baik disengaja atau tidak, merupakan suatu kelemahan lumrah bagi manusia. Sejatinya kesunyian dengan berdiam diri sangat diperlukan untuk menanggulangi hal ini."
Ungkapan Mohandas Karamchand Gandhi atau yang dikenal dengan Mahatma Gandhi sebagai salah satu tokoh spiritual dunia itu seakan mengingatkan umat manusia atas keterbatasan lahiriah.
Meskipun demikian keterbatasan yang mengkristal di dalam jiwa dalam wujud kelemahan itu dia atasi dengan cita-cita idealisnya tentang Ahimsa, sebuah prinsip kehidupan tanpa kekerasan.
Berdiam diri di tengah kesunyian bagi Gandhi adalah sebuah sarana untuk memperkuat jiwa yang lemah dan selalu berkeluh kesah pada keadaan.
Menyambut Tahun Baru Caka 1935, umat Hindu mengisinya dengan ritual Tapa Brata Penyepian. Selama 24 jam penuh.
Mereka pantang melakukan empat hal yang menjadi kebiasaan sehari-hari, yakni menyalakan api (termasuk juga lampu), bepergian, bekerja, dan bersenang-senang.
Selama 24 jam pula umat Hindu berdiam diri di rumahnya masing-masing setelah semalaman mengarak ogoh-ogoh yang disimbolkan sebagai buta kala atau makhluk jahat yang harus diperangi dalam jiwa.
Simbolisasi ogoh-ogoh sebagai perbuatan jahat di dalam jiwa yang harus diperangi itu memang terlihat semarak, tidak hanya di Bali, melainkan juga di kota-kota besar lainnya di Indonesia yang sebagian masyarakatnya memeluk agama Hindu.
Dalam balutan semangat menunaikan ritual keagamaan itu, situasi di Bali pun benar-benar sunyi.
Bali yang selama ini dikenal sebagai surga bagi wisatawan tiba-tiba hening.
Lalu lalang kendaraan yang menyertai aktivitas masyarakat sebagai komponen utama mesin industri pariwisata berhenti total pada rentang waktu tertentu.
Tiupan angin sepoi-sepoi, desir ombak berkejaran, dan kicauan burung yang terbang rendah, bahkan sesekali terlihat bergerombol di tengah jalan raya menjadi pemandangan tersendiri yang tidak mungkin dapat dijumpai pada hari-hari sebelum dan berikutnya di pulau berjuluk "Seribu Pura" itu.
Kemudian pada saat matahari sudah kembali ke peraduannya, situasi Bali pun diliputi kegelapan. Walau begitu, Nyepi bukan sekadar kewajiban yang bersifat imperatif bagi pemeluknya. Nyepi menyadarkan umat manusia mengenai keseimbangan hidup.
"Pada hakikatnya, Nyepi merupakan tuntunan untuk mengheningkan pikiran dengan mengendalikan api nafsu indria (keserakahan)," demikian kata Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali I Gusti Ngurah Sudiana.
Oleh karena itu, dia memandang bahwa nilai spiritual yang terkandung dalam Tapa Brata Penyepian bersifat universal, sangat mulia sekaligus mampu mewujudkan ketenteraman, kedamaian, dan keharmonisan antarumat.
Komersialisme
Apa pun bentuk-bentuk ketidaksempurnaan keadaan, Nyepi di Bali tetaplah menjadi daya tarik tersendiri.
Masyarakat dari luar Bali pun sadar bahwa Nyepi di Bali memberikan kesan tersendiri meskipun harus hidup serba keterbatasan.
Kalau tujuan berlibur untuk bersenang-senang, tentu mereka tidak akan jauh-jauh dari negeri seberang untuk datang ke Bali pada saat Nyepi.
Jangankan ke pantai atau objek wisata lainnya, selangkah meninggalkan areal hotel pun mereka sudah harus berurusan dengan "pecalang" bersenjatakan keris di pinggang.
Namun itulah Bali. Jauh-jauh hari sebelum Nyepi, sejumlah pengelola hotel berlomba-lomba menawarkan paket dengan harga menarik.
Padahal orang berpikiran waras pun akan bertanya, apa menariknya menginap di hotel bertarif selangit dengan lampu penerangan yang serba terbatas, televisi yang tidak bisa menayangkan berbagai jenis informasi dan hiburan?
Gubernur Bali Made Mangku Pastika pun turun tangan guna menyadarkan pelaku usaha pariwisata yang mengomersialkan paket Nyepi.
Mantan Kapolda Bali menuding pengelola hotel telah mempunyai semangat wirausaha yang salah dengan menawarkan berbagai paket wisata saat Hari Raya Nyepi.
"Salah, jika mencari keuntungan dari situasi seperti itu. Saya sarankan tidak membuat paket wisata Nyepi karena itu tidak baik," katanya di Denpasar, Jumat (8/3) lalu.
Menurut dia, sebenarnya tidak boleh ada pengecualian untuk hotel tetap menyalakan lampu dan menawarkan paket wisata saat Nyepi. "Hal-hal yang mengarah pada kenikmatan hidup, mencari keuntungan, menurut saya itu menyalahi prinsip Nyepi," ujarnya.
Imbauan itu tak akan mempan menghadapi dahsyatnya gelombang kapitalisme yang menghamba pada kepentingan pemilik modal.
Dari tahun ke tahun paket Nyepi yang ditawarkan sejumlah hotel di Bali selalu disambut antusias wisatawan, selain mayarakat kelas menengah lokal yang ingin mencicipi pelayanan istimewa ketika para pembantunya pulang kampung.
Bahkan, Hotel Grand Istana Rama di Kuta mampu mendatangkan tamu hingga memenuhi 80 persen kamar yang disediakan selama paket Nyepi. Para tamu yang kebanyakan wisatawan asal Australia itu diberi kesempatan untuk belajar merangkai canang yang biasanya dijadikan sarana ibadah bagi umat Hindu. Kesempatan itu diberikan untuk mengisi waktu luang selama mereka "terkurung" di dalam hotel.
Mereka menyebutnya sebagai sensasi Nyepi. Dan, atas nama sensasi pula, mereka tak pernah menyesal menghamburkan uang hingga jutaan rupiah. (ANT)
Nyepi dan sensasi komersialisme
Selasa, 12 Maret 2013 17:51 WIB 3125