Bengkulu (ANTARA) - Para aktivitas lingkungan menilai Omnibus Law RUU Cipta Kerja akan memperparah kerusakan lingkungan di Pulau Sumatera karena sejumlah pasal dalam UU tersebut memberikan keringanan dan sejumlah diskon bagi pengusaha industri ekstraktif batu bara.
Analisis Jejaring Sumatera Terang untuk Energi Bersih, gabungan sejumlah lembaga swadaya masyarakat di Pulau Sumatera mengkhawatirkan keberadaan UU ini akan memperburuk lingkungan dengan pencemaran udara, pencemaran sungai, laut, tanah sampai pada persoalan hilangnya mata pencarian masyarakat.
“Semuanya sudah terjadi dan dialami oleh masyarakat, mulai dari Aceh sampai Lampung,” kata Juru Kampanye Energi Kanopi Hijau Indonesia, Olan Sahayu saat konferensi pers daring, Senin.
Olan menilai, kerusakan tersebut akibat model pengelolaan lingkungan yang tidak dijalankan sebagaimana mestinya dan terus didiamkan oleh pemerintah.
Ia juga menyoroti dampak PLTU batubara di Sumatera yang mulai merusak mata pencarian masyarakat di sekitar proyek, misalnya PLTU batubara Pangkalan Susu di Sumatera Utara, PLTU batubara Keban Agung di Lahat, PLTU batu bara Teluk Sepang di Bengkulu, PLTU batu bara Tenayan Raya di Pekan Baru yang ternyata merugikan petani padi, penambak ikan, hingga tangkapan nelayan terus menurun.
“Setelah PLTU itu beroperasi, masyarakat di sekitar PLTU itu terus mengeluhkan mata pencarian mereka yang semakin terganggu,” tutur Olan.
Tidak hanya itu, ia menemukan fakta atas keserampangan dalam pengelolaan abu fly ash dan bottom ash (FABA) oleh sejumlah PLTU.
“Pada PLTU Keban Agung Lahat, kami menemukan fakta adanya pembuangan FABA secara sembarangan di lubang tambang, ditimbun untuk jalan, ditumpuk di sekitar PLTU,” kata Olan.
Masalah yang sama juga terjadi di Padang, Sumatera Barat. Di kota Ranah Minang itu berdiri PLTU batubara Ombilin, masyarakatnya, terutama di Desa Sijantang Koto selama satu tahun terakhir terus mengeluhkan abu PLTU yang berterbangan di langit desa mereka, penyebabnya karena filter abu PLTU rusak dan sampai saat ini belum diperbaiki.
Fakta di atas, kata Olan, adalah potret pengelolaan lingkungan yang serampangan. Padahal, menurutnya, dalam dokumen pandu RKL-RPL disebutkan cara untuk mengelola dan memantau dampak yang akan terjadi.
Dalam konferensi pers ini juga membedah laporan Koalisi Bersihkan Indonesia dan Fraksi Rakyat Indonesia yang diluncurkan pada 18 Oktober 2020 berjudul “Omnibus Law : Kitab Hukum Oligarki”.
Laporan ini mengungkap nama-nama aktor yang diuntungan dengan disahkannya UU Cipta Kerja terutama mereka pengusaha di bidang energi.
Tidak hanya aktor dan kepentingannya, laporan ini juga membahas pasal-pasal yang ada di sektor pertambangan dan energi lebih banyak menguntungkan para pembisnis besar yang ingin menguasai sumber daya alam hanya untuk kepentingan pribadi.
Ahmad Ashov Birry, Juru Bicara Bersihkan Indonesia menilai Omnibus Law Cipta Kerja dipenuhi oleh konflik kepentingan sejak dari awal prosesnya, dari mulai saat diproklamirkan oleh Presiden Joko Widodo, dalam level kementerian yang mengurusnya, Satgas yang menyusunnya, hingga Panja dan Pimpinan DPR yang membahas dan mengesahkannya.
Menurutnya, berbagai dampak negatif baik itu secara lingkungan, sosial, dan ekonomi sebagai konsekuensi logis dari aturan yang berat sebelah ini akan terjadi, memperparah kondisi yang ada dan telah lama berlangsung, termasuk di Sumatera.
Wendra Rona Putra, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang yang tergabung dalam jejaring Sumatera Terang Untuk Energi Bersih (STuEB) menilai UU Cipta Kerja sama sekali tidak mencerminkan ruh pancasila yang berketuhanan, berkemanusiaan, persatuan, kemusyawarahan dan keadilan bagi sebagian besar rakyat Indonesia.
Menurutnya, undang-undang yang baru disahkan tidak menjawab persoalan yang dialami masyarakat di tingkat tapak atau masyarakat yang menerima dampak langsung dari aktivitas pertambangan dan energi.
Fakta yang ada, kata Wendra, banyak anak yang mati di lubang tambang, lingkungan yang rusak, air yg tercemar dan udara yg kotor akibat tambang batu bara dan pemanfaatan energi kotor.
“Bukannya memberikan solusi, yang muncul justru kebijakan yang memberikan insentif lebih banyak bagi pengusaha tambang seperti dalam pasal 128 a yang menyebutkan royalti tambang batu bara 0 persen," katanya.
Sumiati Surbakti, Direktur Srikandi Lestari, mengatakan saat ini terjadi kolaborasi antara penguasa dan pengusaha dalam menjarah negeri ini. Rakyat dibiarkan menderita, mulai dari kehilangan mata pencarian sampai runtuhnya kesehatan akibat industri extrative batubara.
“Mereka berlindung dibalik investasi negara mengabaikan penggunaan energi terbarukan yang ramah lingkungan akan sulit terwujud dikalahkan oleh kepentingan oligarki. Jalan satu satunya adalah bangkit melawan penindasan Oligarki,” kata Sumiati.
Dia menilai pengesahan UU Cipta Kerja merupakan kemunduran dan penanda matinya nalar serta akal sehat pemerintah dan legislatif.
Dengan kondisi tersebut, Jejaring Sumatera Terang untuk Energi Bersih menuntut Presiden Joko Widodo dan DPR RI untuk segera mencabut dan membatalkan Omnibus Law Cipta Kerja.
Omnibus Law dinilai akan perburuk kerusakan lingkungan di Sumatera
Senin, 19 Oktober 2020 20:53 WIB 1651