Banda Aceh (ANTARA) - Konflik satwa liar dengan manusia di wilayah Aceh belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir pada penghujung 2020. Masih ada saja kejadian gajah liar masuk dan merusak kebun warga atau gajah liar terluka atau mati karena terjerat.
Pada pertengahan November 2020, kawanan gajah merusak satu rumah warga di Kampung Negeri Antara, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, saat warga menunaikan shalat magrib. Kejadian itu bukan yang pertama di Kampung Negeri Antara.
Reje (Kepala) Kampung Negeri Antara Riskanadi mengatakan bahwa selain merusak rumah warga kawanan gajah liar juga memporak-porandakan lahan perkebunan.
Menurut dia, amukan gajah liar sering terjadi di kawasan Pintu Rime Gayo. Dia berharap pemerintah turun tangan membantu mencegah gajah liar masuk ke wilayah permukiman penduduk.
"Kami berharap agar pembangunan pagar kawat kontak di desa kami bisa dilanjutkan, karena sudah lama belum ada kelanjutannya," katanya.
Selain di Bener Meriah, konflik gajah liar dan manusia terjadi di beberapa daerah lain di Aceh termasuk Aceh Jaya, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Nagan Raya.
Kepala Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Agus Arianto mengatakan bahwa populasi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) di Aceh berkisar 500 hingga 600 dan 70 persen di antaranya berada di kawasan hutan.
Menurut dia, sebagian populasi gajah menempati areal penggunaan lain, yakni areal di luar kawasan hutan negara yang diperuntukkan bagi pembangunan di luar bidang kehutanan.
"Banyak sekali posisi gajah yang terjebak, seperti di Aceh Utara, sudah di kelilingi dengan perkebunan perusahaan dan masyarakat, artinya mereka di situ-situ saja dan konfliknya terus terjadi," kata Agus.
Menurut dia, satwa liar umumnya keluar dari kawasan hutan dan masuk ke perkebunan atau perkampungan karena habitatnya terganggu atau rusak sehingga mereka kesulitan mendapatkan sumber makanan.
Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Muhammad Nur mengatakan bahwa satwa liar seperti gajah sumatera kehilangan koridor jelajah dan sumber makanan karena kawasan hutan banyak yang sudah dialihfungsikan. Kondisi tersebut memaksa satwa-satwa liar bergerak ke kawasan permukiman.
"Itu sebenarnya mereka mencari sumber makanan. Yang menyebabkan konflik itu karena mereka keluar jalur (jelajah)," katanya.
Mitigasi Konflik
BKSDA Aceh memiliki tujuh unit konservasi (Conservation Response Unit/CRU) dan semuanya berada di daerah dengan intensitas konflik satwa liar tinggi.
CRU BKSDA Aceh ada di DAS Peusangan di Bener Meriah, Serbajadi di Aceh Timur, Cot Girek di Aceh Utara, Sampoiniet di Aceh Jaya, Mila di Pidie, Alue Kuyun di Aceh Barat, dan Trumon di Aceh Selatan.
"CRU yang ada di wilayah tersebut selama tahun 2020 ini juga memainkan peranan sangat penting dalam rangka penanganan konflik (satwa liar)," kata Agus.
Ia menuturkan bahwa dalam menangani konflik satwa liar, seperti kawanan gajah liar yang memasuki perkampungan, selama ini petugas CRU menggunakan bunyi-bunyian atau gajah jinak untuk menggiring kawanan gajah kembali ke hutan.
"Teman-teman di lapangan sudah tahu bagaimana penggunaannya. Bisa secara manual menggunakan bunyi-bunyian, dan itu juga ada teknisnya, tidak sembarangan (menembakkan petasan)," kata Agus.
Di daerah Bener Meriah dan Pidie, ia menjelaskan, upaya untuk mencegah satwa liar masuk ke kawasan permukiman warga dan meminimalkan konflik satwa liar dengan manusia juga dilakukan dengan membangun parit penghalau.
BKSDA Aceh juga memasang kalung GPS pada pemimpin kawanan gajah yang pernah masuk ke kawasan permukiman untuk memudahkan pelacakan pergerakan kawanan gajah liar.
"Banyak hal yang sudah kita lakukan. Secara rutin kita melakukan penanganan konflik, pengusiran dan segala macam, dan juga edukasi ke masyarakat bersama dengan mitra, NGO dan dinas terkait," kata Agus.
Agus mengemukakan bahwa mitigasi dan penanganan konflik satwa liar dengan manusia membutuhkan dukungan dan sinergi dari pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota serta para pemangku kepentingan terkait lain.
"Ini sedang kita inisiasi dengan pemerintah provinsi, kabupaten, dan teman-teman NGO, dan pihak swasta juga diharapkan terus mendukung konservasi gajah di Aceh," katanya.
Muhammad Nur mengemukakan bahwa menggiring gajah yang masuk ke permukiman kembali ke kawasan hutan bisa menjadi solusi jangka pendek.
Namun, dia menyarankan penggiringan gajah tidak dilakukan dengan membunyikan petasan karena tindakan itu justru bisa membuat kawanan gajah stres.
Menurut dia, mengerahkan pawang untuk menghalau kawanan gajah lebih baik ketimbang mengusir mereka dengan membunyikan petasan.
"Kemudian jalur yang dilewati gajah mesti ditutup, apakah dengan kanal atau parit, supaya gajah tidak lewat lagi ke pemukiman," ia menambahkan.
Muhammad Nur mengatakan bahwa menggiring satwa liar yang masuk ke permukiman kembali ke hutan saja tidak cukup untuk mengatasi konflik satwa liar dengan manusia.
"Setelah gajah digiring ke lokasi itu, maka tidak boleh lagi hutan itu diubah fungsinya," katanya.
Konservasi berlanjut untuk melindungi hutan dan memulihkan area hutan yang rusak harus dilakukan supaya gajah, harimau, beruang, dan satwa liar lainnya tidak lagi keluar dari habitat mereka dan mengganggu permukiman warga.
Upaya tersebut membutuhkan dukungan dari semua pihak, mulai dari pemerintah, lembaga non-pemerintah, pelaku usaha, sampai warga sekitar kawasan hutan.
Menghalau gajah liar dari kawasan permukiman warga di Aceh
Rabu, 16 Desember 2020 14:32 WIB 1369