Bengkulu (ANTARA) - Aktivis lingkungan dari Yayasan Kanopi Hijau Indonesia menilai sejumlah sanksi administrasi yang dijatuhkan pemerintah atas pengelola proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara Teluk Sepang tidak mampu memberikan efek jera dalam pengeloalan lingkungan sebab hingga November 2020, PT Tenaga LIstri Bengkulu selaku pemilik proyek diduga masih melakukan pelanggaran terhadap dokumen Andal serta RKL-RPL yang mereka susun sendiri.
Manajer Kampanye Kanopi Hijau Indonesia, Olan Sahayu dalam diskusi terfokus yang digelar Kanopi dengan mengundang para pihak, Senin (21 Desember 2020) dalam pemaparan ringkasan tiga laporan publik hasil pemantauan yang dilakukan lembaga ini terhadap aktivitas PLTU kurun Januari hingga November 2020 mengatakan sanksi yang lebih tegas seharusnya diterapkan sehingga memberikan efek jera.
“Sejak awal proyek kami mengetahui penolakan masyarakat, kami sudah membuat analisis terhadap dokumen Andal jauh sebelum konstruksi dan ditemukan banyak sekali penyimpangan,” kata Olan.
Poin penyimpangan itu antara lain ketidaksesuaian ganti rugi tanam tumbuh milik petani penggarap, adanya klaim persetujuan warga atas proyek padahal fakta lapangan justru sebaliknya hingga pelanggaran Perda RTRW Provinsi Bengkulu dan Kota Bengkulu.
Berdasarkan penyimpangan dalam dokuman Andal yang dibandingkan dengan fakta lapangan itulah Kanopi melakukan pemantauan terhadap aktivitas PLTU batu bara berkapasitas 2 x 100 Megawatt yang berdiri di Kelurahan Teluk Sepang itu.
“Dasar pemantauan ini karena kami yakin dokumen ini tidak akan mampu mengantisipasi dampak lingkungan yang ditimbulkan dari proyek energi kotor ini,” kata Olan. Metode pemantauan dilakukan secara langsung dan studi komparatif yakni membandingkan antara fakta lapangan dan yang tertera dalam dokumen. Tahapan dimulai dengan mengumpulkan fakta lapangan, mengumpulkan dokumen, kemudian melakukan analisis hingga terbit laporan pemantauan.
Olan pun menjelaskan dugaan pelanggaran yang dirili dalam laporan publik 17 Juni 2020 yakni pembuangan limbah cair ke laut tanpa izin dan tumpahan oli di sekitar PLTU batu bara yang telah dilaporkan ke pihak berwenang. Terkait pembuangan limbah cair tanpa izin, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengeluarkan sanksi administrasi, sedangkan laporan tumpahan oli yang disampaikan ke Polres Bengkulu dihentikan penyidikannya karena dinilai tidak memenuhi unsur.
Lalu dalam laporan publik kedua pada 12 November 2020, disampaikan lagi dugaan pelanggaran aktivitas lapangan yang tidak sesuai dengan dokumen Andal serta RKL-RPL yaitu pengangkutan batu bara untuk bahan utama yang disebut melalui laut dalam dokumen Andal ternyata fakta lapangan diangkut lewat jalur darat. Begitu juga pengangkutan abu pembakaran batu bara yang dalam Andal disebut menggunakan truk bak tertutup namun fakta lapangan tanpa penutup.
Dalam laporan publik kedua kami juga menyoroti bahan karpet yang tidak kedap air sedangkan dalam Andal disebut menggunakan bahan kedap air.
Limbah abu bawah yang mengandung logam berat seperti merkuri sangat berbahaya bila mencemari media lingkungan sekitar penyimpanan limbah.
Lalu, sepekan setelah laporan publik kedua tersebut, pihak perusahaan membangun pagar pembatas tempat penyimpanan abu sementara yang juga disoroti Kanopi.
Selama pemantauan sejak Januari hingga September 2020, limbah air bahang juga masih dibuang dalam kondisi berbusa dan berbau menyengat.
Sementara dalam laporan publik ketiga pada 16 Desember 2020, Kanopi menyoroti penanaman cemara di atas area tempat penyimpanan abu sementara di mana pihak Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Bengkulu dan Kota Bengkulu mengatakan belum mengetahui tindakan yang dilakukan PT Tenaga Listrik Bengkulu tersebut.
“Tidak boleh menanam cemara di atas lahan penyimpanan abu sementara, kalau itu benar akan kami periksa ke lapangan,” kata Kabid Pengelolaan Limbah B3 dan Pengendalian Pencemaran, Dinas LHK Provins Bengkulu, Zainubi.
Selain itu Zainubi dalam diskusi terfokus tersebut juga menyampaikan jika seluruh perizinan dalam proses pengoperasian PLTU itu sudah dikantongi management.
Atas pelanggaran tersebut, praktisi hukum, Saman Lating, S.H mengatakan dokumen Andal adalah komitmen perusahaan untuk menjamin perlindungan lingkungan, sehingga dokumen tersebut harus ditaati oleh perusahaan yang membuatnya.
Bila dokumen Andal tersebut dilanggar berarti telah terjadi pelanggaran atas Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang dapat berakibat sanksi administratif sampai dengan pencabutan izin lingkungan.
“Seharusnya DLHK mengambil tindakan tegas dengan memberikan sanksi sebagaimana ketentuan pasal 76 ayat (2) yaitu sanksi administrasi. Selain itu aktivitas PT TLB harus dihentikan sampai dengan pengajuan Adendum Andal selesai karena aktivitas tidak sesuai dokumen dan tetap dibiarkan oleh pengawas maka sama dengan pembiaran pelanggaran,” katanya.
Dalam diskusi ini para peserta sepakat tentang pentingnya meningkatkan fungsi pengawasan dari dinas yang bertanggungjawab serta memfasilitasi partisipasi aktif masyarakat luas dengan membentuk tim independen.
Kemudian para peseta juga merekomendasikan terkait penindakan yaitu melaporkan setiap hasil temuan ke pihak berwenang seperti penegak hukum, DLHK Provinsi, dan Gakkum KLHK sesuai kewenangan masing-masing.
Sebelumnya perwakilan manajemen PT TLB, Abu Bakar mengatakan saat ini berdasarkan arahan dari DLHK Provinsi Bengkulu pihaknya melakukan adendum dokumen Amdal sesuai dengan kondisi aktual pengelolaan dan pemantauan lingkungan di PLTU Bengkulu.
Abu Bakar juga diundang dalam diskusi tersebut namun ia beralasan sedang mendampingi tim dari dinas lingkungan yang akan mengambil sampel di lokasi proyek hingga 23 Desember 2020.
Kanopi: ketidaktaatan pengelolaan lingkungan di PLTU Bengkulu terus berlanjut
Selasa, 22 Desember 2020 9:43 WIB 1704