Tanjung Selor (ANTARA) - Tak terasa, sudah berjalan lebih dari 1,5 tahun atau melewati dua kali Lebaran Idul Adha --termasuk pada 20 Juli 2021-- hidup dalam berbagai pembatasan untuk menjalani "perubahan perilaku" akibat pandemi COVID-19.
Ternyata tak mudah untuk mengubah perilaku masyarakat agar bisa mentaati protokol kesehatan agar pandemi segera terkendali.
Pada April 2020, pemerintah dengan pertimbangan kedaruratan masyarakat mengeluarkan kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang mirip karantina wilayah.
Berbagai upaya pemerintah menekan penyebaran COVID-19 sebenarnya sudah memberikan harapan besar setelah kasus menurun dan vaksinasi mulai secara masif pada awal 2021.
Siapa menyangka, pada Juli 2021 lonjakan kembali terjadi akibat varian baru virus corona. Varian B.1.617.2 atau varian Delta --dari India - bahkan sempat mencatat Indonesia bersaing dengan negara "Bollywood" - dalam kasus harian dunia.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marives) Luhut Binsar Pandjaitan dalam konferensi pers secara daring pada Senin (5/7/2021) malam mengakui penularan COVID-19 di DKI Jakarta disebabkan 90 persen oleh varian Delta.
Tidak hanya terjadi di ibu kota negara, kasus COVID-19 akibat varian Delta juga telah menyebar hingga ke daerah, bahkan pedalaman Kalimantan.
Misalnya, di pedalaman Kaltara yang selama ini, kasus COVID-19 sangat rendah namun pada pertengahan Juli 2021 melonjak jadi ratusan orang positif.
Pada pertengahan Juli 2021, tercatat 591 warga pedalaman di Long Nawang dan Long Ampung, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara positif COVID-19.
Kepala Dinas Kesehatan Kaltara Usman mengatakan bahwa kasus COVID-19 terdeteksi dari hasil rapid antigen di Long Nawang berjumlah 386 kasus dan Long Ampung berjumlah 205 Kasus. Sedangkan jumlah pasien yang sembuh 62 orang, dan meninggal dunia sebanyak tujuh orang.
Selama Juli sejak ditemukan kasus varian Delta menyebar di semua kabupaten/kota di Kaltara jumlah kasus meningkat drastis.
Di Bulungan yang berpenduduk hanya 300.000 jiwa, sejak Juli mengalami kasus kematian tiga kali lipat ketimbang rata - rata angka kematian enam bulan sebelumnya akibat COVID-19.
"Rata - rata angka kematian dari Januari sampai Juni 2021 sebanyak lima orang namun selama pertengahan Juli ada 16 kasus kematian karena COVID," kata Juru Bicara Dinas Kesehatan Pemkab Bulungan Heriyadi Suranta.
Perang narasi
Menghadapi kondisi terus meningkatkan kasus baru, pemerintah akhirnya mengambil kebijakan melalui PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) mulai darurat hingga ekonomi mikro.
Dalam perjalanan PPKM tidak lagi menggunakan label darurat tetapi dengan strata "level", untuk zona merah digunakan PPKM level 4.
Berbagai kebijakan pemerintah itu sebenarnya bagus karena terus beradaptasi dengan berbagai persoalan di lapangan.
Pertanyaannya mengapa kasus penyebaran COVID-19 terus meningkat dan kematian masih tinggi ?
Jelas faktor penyebabnya sangat kompleks. Salah satunya, masih banyak narasi negatif, provokatif dan hoaks di media sosial sehingga menghambat kampanye bagi warga untuk mematuhi protokol kesehatan.
Di dunia maya kini sangat terasa ada perbedaan antara kelompok warganet yang percaya COVID-19 dengan yang menganggap itu adalah sebuah konspirasi jahat.
Lihat saja, beberapa hari belakangan ini, secara masif di berbagai platform media sosial tersebar narasi agar jangan lagi memberitakan tentang COVID-19.
Poster yang pertama kali diperkirakan muncul di salah satu daerah Jawa Timur secara masif kini menyebar di berbagai daerah termasuk di Bulungan Kalimantan Utara melalui media sosial.
Jika dicermati kalimat pada poster "Kami warga Bulungan kompak tak upload berita COVID-19. Kami butuh ketenangan dan ketentraman" tergolong narasi negatif, provokatif dan hoaks sehingga berdampak bagi upaya penanggulangan pandemi.
Narasi yang disertai poster atau foto di media sosial ini tergolong hoaks karena mengatasnamakan seluruh (kompak) warga Bulungan.
Narasi ini juga berbahaya karena selain menyampaikan pesan negatif juga provokatif agar warga mengabaikan informasi tentang COVID-19.
Padahal publik berhak tahu tentang berita benar agar tidak menyesatkan terkait COVID-19.
Menyebar narasi negatif, provokatif dan hoaks jelas bertentangan dengan
UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Justru dengan berbagai informasi yang benar akan membantu warga untuk dalam perang melawan COVID-19.
Narasi negatif, provokatif dan hoaks itu jelas berbahaya karena membuat warga bisa mengabaikan protokol kesehatan.
Postingan meremehkan virus berbahaya tersebut justru menyakiti hati mereka yang kini mungkin sedang berjuang untuk sembuh dari paparan virus corona, atau mereka yang sedang berduka karena keluarga, teman atau tetangga yang meninggal karena COVID-19.
Diharapkan warga lebih bijak dalam bermedia sosial karena kondisi memprihatinkan ini juga dihadapi seluruh dunia bukan hanya di Indonesia atau Kaltara.
Menghadapi kondisi ini, maka butuh dukungan semua pihak sesuai kapasitas masing-masing agar mampu melalui badai pandemi COVID-19.
"Laporkan kepada kami jika ada pesan negatif, provokatif dan hoaks, bisa langsung atau via online," kata Kabid Humas Polda Kaltara Kombes Pol Budi Rachmat.
"Takutlah kepada Allah"
Pada awal merebak COVID di Indonesia Maret 2020 sempat ada narasi terkesan positif dan menentramkan, "Jangan takut dengan COVID tapi takutlah dengan Allah".
Narasi-narasi senada akhirnya berkurang bersamaan mulai reda kasus corona pada penghujung 2020.
Kini, narasi membenturkan "nilai agama dengan protokol kesehatan" itu mencuat lagi bersamaan kian melonjak kasus positif COVID-19.
Narasi "tidak perlu takut COVID-19 takutlah dengan Allah" bisa menyebabkan berbagai
kampanye melawan virus ini jadi terhambat, termasuk anjuran harus menggunakan masker rangkap oleh Gubernur Kaltara Zainal A Paliwang.
Bahkan, imbauan gubernur itu agar menggunakan masker rangkap kini jadi olok-olokan atau meme di dunia maya.
Padahal jika dicermati
narasi membawa nama Tuhan itu justru "melecehkan" Allah Subhanahu Ta'Alla yang sudah menganugerahkan manusia sebagai mahkluk paling sempurna karena akalnya.
Pertama, kalimat membandingkan "takut Allah atau takut COVID-19" adalah kalimat yang logikanya salah.
Menyamakan Allah Azza wajalla dengan salah satu makhluk-Nya (COVID) adalah perbuatan kufur, sebab Allah telah menyebutkan tentang diri-Nya bahwa tidak ada satu makhluk pun yang menyerupai diri-Nya.
(Kufur adalah menolak tauhid, atau menolak bahwa Tuhan itu Esa. Seperti yang terkandung dalam Surat Al-Maidah ayat 73).
Takut kepada Allah juga tidak bisa disamakan takut terhadap COVID-19 karena perbedaan eksistensi, yang satu Sang Khalik dan yang lain adalah makhluknya.
Takut terhadap Allah karena ada ilmu, iman, taubat, hidayah dan taqwa. Sedangkan takut terhadap COVID-19 setara takut terhadap singa atau dengan buaya adalah hal alamiah sebagai mekanisme pertahanan hidup.
Edukasi bagi masyarakat Indonesia melalui media sosial itu ternyata juga dilakukan oleh seorang warga Amerika Serikat bernama Faheem Younus.
Mengatasi penyebaran COVID-19 sebenarnya sederhana, yakni dapatkan vaksin dan jalankan prokes secara disiplin, kata Faheem Younus, seorang dokter di Amerika Serikat yang kini menarik perhatian warganet Tanah Air karena aktif "ngetwit" menggunakan Bahasa Indonesia berbagi tips atasi berbagai persoalan COVID-19.
Dari akun pribadi, Dr Faheem Younus ternyata seorang pakar penyakit menular dari University of Maryland Upper Chesapeake Health, Amerika Serikat.
Selain itu, ia juga memegang beberapa posisi antara lain Vice President, Chief Quality Officer, Chief Division of Infection Disease, dan Clinical Associate Professor.
Dokter itu selalu memberikan edukasi soal virus corona dengan menggunakan bahasa Indonesia baik edukasi maupun memerangi hoaks tentang COVID-19.
"T: Manakah dari berikut ini yang mencegah/mengobati COVID? Jahe, Jamu, Serai, Kunyit, kayu putih. A: Tidak ada di atas! Pakai masker, hindari keramaian di dalam ruangan dan vaksinasi," cuit Faheem, Senin (5/7/2021).
Peran media krusial
Terkait banyaknya pesan negatif, provokatif dan hoaks itu, Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin meminta agar pers terus memberitakan secara benar tentang COVID-19.
Hal itu disampaikan Wapres Ma'ruf Amin saat memberikan sambutan dalam acara Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Bermunajat Bersama Wapres secara daring pada Sabtu (24/7/2021).
Pada masa pandemi, peran media sangat krusial tidak hanya menyampaikan kritik yang membangun terhadap pemerintah juga menangkal hoaks.
Ia juga mendorong agar jurnalis berempati terhadap penderita COVID-19. Demikian halnya juga kepada para tenaga kesehatan dan aparat yang menjadi garda terdepan penanganan COVID-19.
Termasuk berempati terhadap masyarakat yang terdampak pandemi COVID-19.
Menurut Ma’ruf, saat ini merupakan waktu bagi seluruh komponen bangsa untuk menyatukan langkah dan bahu-membahu, serta saling mendukung satu sama lain. Diawali dari diri sendiri dan lingkungan sekitar.
“Mari bergerak untuk terus mematuhi protokol kesehatan (prokes), mengubah kondisi Indonesia agar segera terlepas dari jerat pandemi. Saya optimistis pandemi ini dapat kita atasi bersama dengan upaya-upaya yang maksimal dan saling mengingatkan dalam kebaikan,” ujar Ma’ruf.
Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Atal S Depari mengajak segenap komponen bangsa terus berikhtiar perang melawan COVID-19, termasuk untuk terus memohon dalam doa agar pandemi segera berakhir.
Atal mengutip data terakhir di Indonesia bahwa kini tercatat sekitar 191 juta orang telah terinfeksi COVID-19 dan 4,1 juta orang meninggal dunia.
Sedangkan Ketua Dewan Pers M. Nuh dalam amanahnya meyakini cara merespons kondisi turbulensi seperti sekarang tidak bisa menggunakan logika-logika masa lalu atau usang.
“Karena COVID ini persoalan baru, maka approach-nya pun baru. Tentunya yang lama bisa dipakai, tetap kita pakai,” tutur M. Nuh.
Pandemi telah menjadi persoalan kompleks karena berdampak lintas sektor. Maka itu solusinya tidak boleh sederhana.
Ia sependapat ketika Ketua PWI Atal S Dapari menyebut istilah "perang melawan COVID-19". “Begitu kita declare melawan covid, maka harus kita berlindung kepada Allah, jangan menjadi disersi, disersi sosial maupun spiritual,” tegas dia.
Disersi istilah yang dipakai di dunia kemiliteran, yaitu tentara yang kabur atau melarikan diri saat perang.
Terkait hal ini, M. Nuh menyerukan sebisa mungkin ikut berpartisipasi perang melawan COVID-19 baik di hulu maupun di hilir.
Salah satu persoalan hilir dari COVID-19 yaitu bermunculan puluhan ribu anak-anak yatim akibat orangtuanya meninggal direngut COVID-19.
Sedangkan peran media di hulu tentunya terus mengedukasi masyarakat agar mematuhi protokol kesehatan serta melawan narasi negatif, provokatif dan hoaks.
Pejuang sejati tidak pernah mengibarkan bendera putih terhadap derasnya narasi negatif, provokatif dan hoaks tentang COVID-19.
Justru kehadiran media massa yang bertanggung-jawab sangat krusial dalam peperangan melawan COVID-19. Jangan disersi...!!!
COVID-19, peran media di antara narasi negatif, provokatif dan hoaks
Jumat, 30 Juli 2021 9:00 WIB 984