Yogyakarta (ANTARA) - Sejumlah mahasiswa lintas fakultas Universitas Gadjah Mada (UGM) mengembangkan sistem deteksi kerumunan untuk mencegah penularan COVID-19.
"Sistem yang kami kembangkan ini dapat mendeteksi adanya kerumunan sekaligus menampilkan informasi kapan dan di mana kerumunan terjadi," kata Ketua tim peneliti Zulfa Andriansyah melalui keterangan tertulis di Yogyakarta, Kamis.
Zulfa menuturkan sistem yang diberi nama "Syncrom" atau kepanjangan dari "System of Detection and Crowd Mapping" ini dibuat berbasis Deep Learning dan WebGIS.
Dengan demikian, alat tersebut mampu mendeteksi adanya kerumunan dengan menyajikan informasi jumlah massa dan menampilkan visualisasi kondisi di lapangan, baik waktu maupun tempat terjadinya kerumunan secara "near realtime" (mendekati realtime).
"Dengan platform ini sistem pemantauan bisa dilakukan secara terus-menerus selama 24 jam. Data terus diupdate setiap 30 detik," kata mahasiswa Fakultas Geografi UGM ini.
Syncrom dikembangkan oleh Zulfa bersama dengan keempat rekannya, yaitu M. Ihsanur Adib (Kartografi dan Penginderaan Jauh), Wahyu Afrizal Bahrul Alam (Teknologi Informasi), Malik Al-Aminullah Samansya (Teknik Nuklir), dan Najmuddin Muntashir ‘Abdussalam (Teknik Industri) di bawah bimbingan dosen Dr. Taufik Hery Purwanto.
Purwarupa deteksi kerumunan tersebut lahir lewat Program Kreativitas Mahasiswa bidang Karsa Cipta (PKM-KC) tahun 2021 yang memperoleh dana hibah pengembangan sebesar Rp9 juta dari Kemdikbudristek.
Sistem tersebut, kata Zulfa, juga dilengkapi dengan fitur peringatan dini adanya kerumunan. Peringatan adanya kerumunan di lokasi terdeteksi akan disampaikan melalui pengeras suara secara otomatis.
Ia menjelaskan Syncrom mampu mendeteksi kerumunan melalui input data visual yang diperoleh melalui CCTV lewat web cam yang terhubung dengan komputer lokal yang sebelumnya telah diprogram dengan deep learning untuk mendeteksi keberadaan manusia dan memprediksi kerumunan di suatu lokasi diteruskan ke sistem untuk dianalisis.
Setelah itu, hasil data dikirimkan ke WebGIS dalam bentuk informasi terkait lokasi, waktu, dan jumlah kejadian kerumunan yang berada di satu lokasi terpantau CCTV.
"Jika data yang muncul menunjukkan adanya kerumunan, voice alert akan berbunyi untuk memberikan peringatan," ujar Zulfa.
Nantinya, mereka juga akan menambahkan fitur berupa text alert untuk mempermudah petugas dalam pemantauan. Misalnya, ketika petugas sedang tidak berada di ruang kontrol tetap dapat menerima informasi melalui SMS atau telegram apabila terjadi kerumunan.
"Saat ini belum ada produk yang mengintegrasikan deteksi kerumunan dengan pemetaan yang juga disertai dengan adanya peringatan dini. Biasanya deteksi kerumunan dengan memakai sensor proximity menggunakan perangkat pengguna seperti smart phone," kata dia.
Peneliti lainnya, Najmuddin mengatakan pengembangan Syncrom berawal dari keprihatian masih banyaknya pelanggaran protokol kesehatan yang terjadi di masyarakat, khususnya terkait menjaga jarak dan menghindari kerumunan.
"Saat ini masih saja terjadi banyak pelanggaran prokes, termasuk soal jaga jarak dan menghindari kerumunan, karena pemantauan aparat kurang maksimal. Oleh sebab itu, kami berinisiatif mengembangkan alat deteksi ini guna memudahkan petugas dalam pemantauan dan segera melakukan penindakan," kata dia.
Ia mengungkapkan dalam pengembangan prototipe alat deteksi kerumunan ini, timnya masih menggunakan web cam, belum memakai CCTV, karena adanya keterbatasan dana. Namun begitu, hasilnya dapat memantau kerumunan secara optimal dan akurat.
Sistem yang dikembangkan sejak Juni 2021 ini telah diujicobakan di lapangan. Hasilnya, memiliki akurasi lebih dari 75 persen dalam mendeteksi kerumunan di suatu ruangan.
"Walau dengan web cam, bisa dihasilkan akurasi yang cukup bagus untuk mendeteksi kerumunan dengan resolusi gambar menengah dan rendah. Namun demikian, ke depan akan dikembangkan menggunakan CCTV beresolusi tinggi agar hasil bisa lebih akurat," ujar dia.
Mahasiswa ini kembangkan alat deteksi kerumunan
Kamis, 5 Agustus 2021 19:14 WIB 818