Sumatera Selatan (ANTARA) - Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak (PPPA) Sumatera Selatan menyebutkan kasus tindak pidana pedofilia yang dilakukan oleh seorang oknum guru terhadap 26 santri di pondok pesantren di Ogan Ilir, Sumatera Selatan, pertama kali terjadi di Provinsi itu.
“Bila merujuk data sejak tahun 2020 kasus kekerasan didominasi di lingkungan rumah tangga. Untuk kasus pedofilia, khususnya terhadap anak laki-laki yang menjadi korban mencapai 26 orang ini baru pertama kali terjadi,” kata Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak (PPPA) Sumatera Selatan Henny Yulianti di Palembang, Jumat.
Merespons hal tersebut Dinas PPPA Sumatera Selatan telah mengerahkan tim psikolog untuk memberikan pendampingan kepada para korban yang saat ini sedang bersaksi mengungkap kasus yang mereka alami di Mapolda Sumsel.
“Melalui UPTD PPPA sudah bertemu dengan Unit PPA Polda Sumsel, untuk memberikan asesmen atau pendampingan. Sebab tidak mudah bagi mereka (korban) dalam memberi kesaksian dalam posisi ini,” ujarnya.
Adapun pendampingan oleh psikolog itu diberikan bukan hanya terfokus pada anak, akan tetapi juga terhadap orang tua, sebab orang tua secara emosional juga terdampak dalam kasus tersebut.
“Kami apresiasi keberanian orangtua dan anak untuk mengungkap kasus ini ke ranah hukum,” cetusnya.
Namun, di sisi lain setelah kasus ini terungkap, menjadi pelajaran bahwa masih perlu peningkatan dalam pengawasan dan pendampingan terhadap anak yang secara khusus mengenyam pendidikan jauh dari orang tua.
Semua instansi terkait mulai dari Dinas Pendidikan, Departemen Agama atau sejenisnya yang menaungi dunia pendidikan harus merespon serius kejadian ini sehingga tidak terulang lagi di kemudian hari.
“Oknum bisa dari mana saja, tapi paling tidak dalam konteks kejadian ini ada komitmen pengawasan yang ekstra penyelenggara pendidikan dan khususnya orang tua,” ujarnya.
Direktur Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sumsel Komisaris Besar Polisi Hisar Sialagan di Palembang, Kamis, mengatakan pihaknya kembali menerima aduan sebanyak 14 orang santri pondok pesantren di Kabupaten Ogan Ilir yang mengaku menjadi korban pencabulan oleh gurunya sendiri J (22).
Para santri tersebut mendatangi posko aduan korban kekerasan yang didirikan di Mapolda Sumsel didampingi oleh orang tua masing-masing.
Maka dengan dengan adanya aduan itu saat ini korban tercatat 26 santri.
"Benar kami terima aduan kembali hari ini, jadi saat ini total korban ada 26 anak (santri)," kata dia.
Adapun dalam kasus ini tersangka J (22), oknum guru di pondok pesantren AT, diketahui merupakan warga Jalan Adam Dusun Trimulyo, Kelurahan Marta Jaya, Kecamatan Lubuk Raja, Kabupaten Ogan Komering Ulu.
Tersangka dilaporkan oleh orang tua santri kepada unit PPA Ditreskrimum Polda Sumsel karena diduga kuat telah melakukan tindak pidana pencabulan kepada anak mereka.
Berdasarkan laporan tersebut Subdit IV Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) pada Senin (13/9) sekitar pukul 20.00 WIB menangkap tersangka di salah satu rumah orang tua korban, ia ditangkap nyaris tanpa perlawanan.
Kasubdit PPA Komisaris Polisi Masnoni, mengatakan, berdasarkan pengakuan korban, perilaku menyimpang yang dilakukan tersangka itu sudah berlangsung selama sekitar satu tahun terhitung sejak Juni 2020 hingga Agustus 2021.
Modus operandi yang dilakukan tersangka diketahui dengan cara mendatangi para santri yang sedang tidur di kamar mereka.
Setelah itu korban dibujuk rayu oleh tersangka dengan memberikan uang puluhan ribu rupiah supaya mau menuruti keinginan sesatnya tersebut.
"Para anak itu semua laki-laki, mereka dicium pelaku lalu disuruh melakukan oral kelamin bahkan dicabuli oleh tersangka hingga ia mencapai kepuasan," ujarrnya.
Apabila korban menolak keinginan itu, lanjutnya, maka tersangka akan mengancam untuk tidak segan-segan mengurung korban di gudang lalu menganiaya.
Tragisnya dalam kasus ini tersangka mengaku tindakannya dilakukan semata untuk memperoleh kepuasan.
"Saya melakukan asusila semata untuk memperoleh kepuasan," kata tersangka.
Polisi menghadirkan dokter ahli untuk memeriksa kondisi kejiwaan tersangka untuk melanjutkan konstruksi hukum terhadapnya.
Atas perbuatan pedofilia itu tersangka dikenakan pasal 82 ayat 1, 2 dan 4 Jo 76 UU RI No 17 tahun 2016, Perpu No 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana penjara maksimal 15 tahun.*