Hanya sejenak, seorang calon bupati duduk di deretan kursi terdepan, bersama undangan lain yang hadir dalam suatu pesta pernikahan di halaman depan Pendopo Saraswati, kompleks Pondok Tingal, sekitar 500 meter timur Candi Borobudur.
Dia tampak bangkit dari kursi lipatnya, lalu bergegas berjalan meninggalkan tempat itu. Beberapa anggota tim suksesnya dalam pemilihan kepala daerah setempat mendatang, masih berada di halaman pendopo tersebut.
Beberapa kali pembawa acara yang juga Direktur Eksekutif Bentara Budaya Hariadi Saptono mengucapkan bahwa acara tersebut bukan sekadar pesta perkawinan anak sulung Sutanto Mendut, dengan lelaki berasal dari Karawang, Jawa Barat.
Akan tetapi, katanya, acara tersebut telah menjadi peristiwa kebudayaan. Sutanto adalah pemimpin paling berpengaruh di kalangan seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh).
Mereka yang hadir, antara lain keluarga Sutanto di Magelang, Jawa Tengah, dan isterinya, Mami Kato (Jepang) yang datang dari Negeri Sakura itu, serta kawan-kawan dari kedua mempelai.
Kalangan seniman dan budayawan, baik di Magelang maupun luar daerah yang datang siang itu, antara lain Goenawan Mohamad, Emha Ainun Najib (Cak Nun), Romo Sindhunata, K.H. Mustofa Bisri (Gus Mus), K.H. Muhammad Yusuf Chudlori (Gus Yusuf), Andarmanik, Halim H.D., Soetrisman, penulis Bre Redana, penyair Triyanto Triwikromo dan E.S. Wibowo, Koordinator Komunitas Seniman Boroudur Indonesia (KSBI) Umar Chusaeni.
Selain itu, budayawan Suprapto Suryadarma dan dalang wayang suket Slamet Gundono, pianis Jepang, Tamon Kato, pemain flute Nano Tirto, penari Didik Nini Thowok, dan pemimpin Konsorsium Kemiskinan Kota, Wardah Hafidz, dan Wakil Bupati Banjarnegara Hadi Supeno. Mereka adalah sebagian dari semua sahabat dan "keluarga kultural" Sutanto yang juga dijuluki Presiden Lima Gunung itu.
Di antara mereka, selain didaulat untuk berorasi budaya, juga menggelar karya seni dalam rangkaian peristiwa budaya "Syukuran Nganten Shiki dan Bayu" yang digarap oleh Komunitas Lima Gunung dengan tema "Peristiwa Religius dan Desain Budaya" selama tiga hari, 19-21 Oktober 2013.
Akad nikah Shiki Raya Unisia (Sutanto-Mami Kato) dengan Bayu Kartika (Rasmadi-Kustiarti) berasal dari Karawang, di panggung terbuka Studio Mendut, pusat kegiatan utama Komunitas Lima Gunung pada Minggu (19/10).
Kedua mempelai yang masing-masing duduk di tandu dengan alas daun kelapa, kemudian menjalani kirab di Pondok Tingal hingga depan Pendopo Saraswati. Turut dalam kirab itu, puluhan kelompok kesenian tradisional dan kontemporer desa, seperti Geculan Bocah, Kembang Gunung, Soreng, dan Kuda Lumping, dengan iringan musik tradisional Pitutur Madyo.
Mereka disambut di halaman pendopo itu, dengan performa sapu oleh Suprapto Suryadarma, lantunan tembang oleh Slamet Gundana, tabuhan musik gamelan oleh seniman petani Sanggar Andong Jiwani, Gunung Andong, dan tarian Topeng Saujana oleh seniman Sanggar Saujana Keron, antara Gunung Merapi dengan Merbabu.
Berbagai pementasan kesenian yang membangun suasana informal dalam acara itu, antara lain demo melukis oleh seniman Nugroho berjudul "Sugeng Rawuh", pentas wayang orang "Arjuna Wiwaha" (Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor, Gunung Merapi).
Selain itu, tarian "Lengger Gunung" (Padepokan Cahyo Budoyo Krandegan, Gunung Sumbing), tarian kontemporer "Salsa" (Sahabat Lima Gunung, Kota Solo), kolaborasi piano-flute Tamon Kato dengan Nano Tirto, dan pembacaan puisi oleh Atika (Studio Mendut) berjudul "Anak Gunung" dan "Sakuraku".
"'Mbak Shiki yang katanya empat musim dan Mas Bayu yang katanya dewa angin. Yang menyebar di ruang udara. Di setiap musim. Dan aku pun terbang di segala musim. Menjadi kupu-kupu kecilmu dengan senyum. Melihatmu terbang dengan dewa angin. Menyusuri jagat sampai akhir,'" demikian penggalan puisi "Anak Gunung" oleh penyair remaja itu, melantun diiringi berbagai nada dering telepon seluler para anggota Komunitas Lima Gunung.
Cak Nun dalam orasi dengan nada guyon menyebut Tanto dalam berkebudayaan menerapkan teori anarkis.
"Teori Tanto itu, teori anarkis. Kalau pelajaran agar tidak maling, maka yang mengajar adalah maling," katanya disambut tertawa hadirin.
Si empunya nama yang duduk mendampingi kedua mempelai di pelaminan berinstalasi serba jerami, secepat kilat diberi mikrofon oleh pembawa acara untuk menimpali pernyataan Cak Nun itu.
"Cak Nun dan Shiki tanggal lahirnya sama, 27 Mei. Orang yang lahir tanggal 27 Mei seperti Cak Nun itu, orangnya ngawur. Kelahiran 27 Mei memang parah. (Gempa Bantul, Yogyakarta pada 2006)," kata Sutanto yang juga disambut tawa hadirin.
Cak Nun yang pada kesempatan itu juga mengkritisi kebijakan pemerintah dalam membangun kesejahteraan masyarakat, ibarat perlakuan suami terhadap istri, juga menyebut acara siang tersebut menjadi peristiwa kebudayaan yang paling menggembirakan karena dibuat oleh Tuhan sendiri.
"Tuhan sendiri yang gembira, ada joget, ada manusia. Seluruh ciptaan Tuhan dalam rangka pemiliknya gembira," katanya.
Gus Mus pada kesempatan itu menyampaikan pidato sangat pendek, namun direspons tepuk tangan meriah hadirin. Ia mengucapkan selamat, baik untuk kedua mempelai maupun kedua pihak keluarga, Mendut dan Karawang.
"Mudah-mudahan hidup keluarganya langgeng berbahagia, sampai ke surga Allah," katanya.
Goenawan Mohammad yang juga penggagas Komunitas Salihara Jakarta menyatakan bangga diikutkan Sutanto Mendut untuk ditulis dalam undangan acara itu, sebagai satu di antara tiga tokoh yang turut menjadi pengundang (Dua lainnya adalah Cak Nun dan Wardah Hafidz).
Pelaksanaan acara bertajuk "Peristiwa Religius dan Desain Budaya" itu, disebut dia sebagai menggembirakan dan menghibur, terbangun suasana hangat dan informal, penuh gurau, serta ajang silaturahim.
Peristiwa pernikahan, katanya, selalu mempertemukan keluarga-keluarga dengan orang-orang yang berbeda-beda.
"Ketika ada acara nikah, maka ada pertemuan keluarga, orang-orang yang tak terbayangkan. Ini kelanjutan riwayat Tanto yang menikah dengan orang Jepang (Mami Kato, red.). Tadinya Mendut-Jepang, sekarang Mendut-Karawang. Kita ditakdirkan saling bertemu dan saling bersaudara, sebelum yang lahir dari kita bersaudara," katanya.
Ia menyebut bahwa dalam perkawinan, ada usaha-usaha untuk bersatu dan menjadi kuat.
"Ada satu rahasia hidup perkawinan. Tetapi karena rahasia, saya tidak tahu jawabannya," katanya yang membuat hadirin tertawa dan bertepuk tangan.
Bukan lagi pesta nikah, tapi peristiwa budaya
Selasa, 22 Oktober 2013 4:49 WIB 3340