Nouakchott (Antara/AFP) - Al Qaida Afrika hari Rabu mengaku bertanggung jawab atas pembunuhan dua wartawan Prancis di kawasan gurun Mali, dalam pernyataan yang disiarkan oleh sebuah kantor berita di Mauritania.
Ghislaine Dupont (57) dan Claude Verlon (55) diculik dan ditembak mati oleh apa yang disebut para pejabat Prancis sebagai "kelompok teroris" setelah mereka mewawancarai seorang juru bicara separatis Tuareg di kota bergolak Kidal, Mali timurlaut, pada Sabtu.
"Operasi ini merupakan pembalasan atas kejahatan yang dilakukan Prancis terhadap rakyat Mali dan pekerjaan pasukan Afrika dan internasional terhadap Muslim Azawad," kata Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), yang menggunakan istilah yang diberikan oleh orang Tuareg bagi Mali utara.
AQIM menambahkan dalam pernyataan yang diterbitkan online oleh Sahara Medias, pembunuhan itu merupakan "utang minimum" yang harus dibayar oleh orang Prancis dan Presiden Francois Hollande.
Menurut kantor berita itu, pembunuhan tersebut dilakukan oleh sebuah satuan yang dipimpin komandan Tuareg, Abdelkrim Targui, yang memiliki kedekatan dengan Abou Zeid, salah satu pemimpin utama kelompok itu di Mali yang tewas dalam pertempuran dengan pasukan Prancis di Mali utara pada akhir Februari.
Belum ada pernyataan segera dari Prancis mengenai klaim AQIM itu.
Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret 2012 menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.
Masyarakat internasional khawatir negara itu akan menjadi sarang baru teroris dan mereka mendukung upaya Afrika untuk campur tangan secara militer.
Kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah payung Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), menguasai kawasan Mali utara, yang luasnya lebih besar daripada Prancis, sejak April tahun lalu hingga mereka diusir oleh pasukan intervensi Prancis
Pemberontak suku pada pertengahan Januari 2012 meluncurkan lagi perang puluhan tahun bagi kemerdekaan Tuareg di wilayah utara yang mereka klaim sebagai negeri mereka, yang diperkuat oleh gerilyawan bersenjata berat yang baru kembali dari Libya. Namun, perjuangan mereka kemudian dibajak oleh kelompok-kelompok muslim garis keras.
Kudeta pasukan yang tidak puas pada Maret 2012 dimaksudkan untuk memberi militer lebih banyak wewenang guna menumpas pemberontakan di wilayah utara, namun hal itu malah menjadi bumerang dan pemberontak menguasai tiga kota utama di Mali utara dalam waktu tiga hari saja.
Prancis, yang bekerja sama dengan militer Mali, pada 11 Januari meluncurkan operasi ketika militan mengancam maju ke ibu kota Mali, Bamako, setelah keraguan berbulan-bulan mengenai pasukan intervensi Afrika untuk membantu mengusir kelompok garis keras dari wilayah utara.
PBB telah menyetujui penempatan pasukan penjaga perdamaian berkekuatan sekitar 12.600 prajurit untuk membantu menstabilkan dan mengamankan Mali.
Al Qaida Afrika akui bunuh dua wartawan Prancis di Mali
Kamis, 7 November 2013 4:30 WIB 1230