Jakarta (ANTARA) - Pandemi COVID-19 di mana sebagian besar negara memberlakukan pembatasan perjalanan dan berkerumun telah mendorong migrasi besar-besaran dalam cara manusia berkomunikasi dari offline ke online, termasuk bagaimana terhubung secara ekonomi.
Dan rupanya keadaan ini turut mempercepat absorpsi online dalam kecepatan yang lebih besar perkiraan sebelumnya sehingga sektor-sektor yang paling memiliki tautan secara online berkembang sangat pesat di beberapa kawasan, di antaranya yang mungkin fenomenal adalah ekonomi digital.
Di antara kawasan yang paling cepat dan paling tinggi dalam memiliki tingkat penetrasi ekonomi digital itu adalah Asia Tenggara.
Laporan bersama Temasek, Google, dan Bain baru-baru ini menyebutkan ekonomi digital di Asia Tenggara berkembang sangat pesat di mana tahun ini saja tengah berada di jalur melampaui angka 170 miliar dolar AS (Rp2.410 triliun) untuk nilai transaksi online atau GMV, mulai dari perdagangan online sampai pengiriman makanan.
Indonesia yang berpenduduk sekitar 273 juta orang masih menjadi jangkar kawasan sebagai kontributor terbesar yang mencapai 40 persen dari GMV kawasan atau sekitar 70 miliar dolar AS. Thailand menyusul dengan 30 miliar dolar AS, lalu Malaysia dan Vietnam masing-masing 21 miliar dolar AS, sedangkan Singapura 15 miliar dolar AS.
GMV di kawasan di mana raksasa-raksasa online regional seperti Sea Ltd, Bukalapak dan Grab Holdings menjadi pemain-pemain utamanya itu diperkirakan naik dua kali lipat menjadi 360 miliar dolar AS (Rp5.135 triliun) pada 2025, dan meroket lagi pada 2030 untuk menyentuh 1 triliun dolar AS (Rp14.263 triliun) yang hampir setara dengan produk domestik bruto Indonesia pada 2020.
Dengan lonjakan eksponensial seperti ini, tidak heran jika Asia Tenggara berubah menjadi salah satu pasar digital dengan pertumbuhan paling cepat di dunia.
Semua hal itu dikerek oleh semakin besarnya pengguna ponsel cerdas di mana saat ini saja jumlah pengguna online di enam negara besar Asia Tenggara sudah mencapai 440 juta orang atau 75 persen dari total penduduk keenam negara yang melebihi total penduduk Amerika Serikat.
60 juta orang dari jumlah itu dipaksa online karena pandemi membuat mereka membatasi pergerakan offline sehingga akhirnya beralih ke online, termasuk dalam cara bertransaksi ekonomi, baik itu menjual maupun membeli.
80 persen dari 440 juta orang itu paling sedikit pernah sekali bertransaksi online. Angka ini belum termasuk empat negara Asia Tenggara lainnya, yakni Brunei, Kamboja, Laos dan Myanmar.
Apalagi jika Timor Lester dan Papua Nugini masuk perhitungan Asia Tenggara, maka bayangkanlah betapa besar pasar digital Asia Tenggara, yang mungkin hanya China dan India yang bisa mengalahkannya.
Dan unicorn pun kian banyak
Skala pasar digital yang demikian besar dan gaya hidup online yang kian massal membuat Asia Tenggara berubah menjadi ekosistem besar untuk bertumbuhnya perusahaan-perusahaan rintisan berbasis internet yang biasa disebut startup sehingga bersama India, Asia Tenggara menjadi kawasan terseksi bagi ekonomi digital.
Beberapa dari startup-startup itu menjadi raksasa-raksasa online bervaluasi senilai minimal 1 miliar dolar AS (Rp14,2 triliun) yang lazim disebut "unicorn" setelah digandeng atau mendapatkan suntikan modal dari entitas besar ekonomi lintas batas dalam bentuk modal ventura atau usaha patungan.
Data DealStreetAsia menyebutkan sepanjang tahun ini saja sampai awal Oktober lalu sudah ada 15 unicorn berdukungan modal ventura yang baru. Nilainya 17,2 miliar dolar AS atau dua kali lipat dari 8,5 miliar dolar AS yang disuntikkan selama setahun penuh tahun lalu.
Padahal sampai 2020 lalu baru ada 19 unicorn berbasis modal ventura, termasuk Lazada yang berbasis di Singapura yang pertama menyandang predikat unicorn pada 2013. Tetapi tahun ini booming unicorn sedang melanda Asia Tenggara yang total sudah memiliki 27 unicorn.
Bertambah banyaknya unicorn mengartikan investor membeli saham baru perusahaan-perusahaan rintisan itu dengan harga lebih tinggi sehingga tidak heran, Asia Tenggara menjadi salah satu kawasan paling menarik bagi investasi startup.
Hal itu tak saja didorong oleh terus berkembangnya kelas menengah yang menjadi penghela utama penetrasi ponsel dan internet, tetapi juga oleh kian besarnya tuntutan digitalisasi penjualan, pembelian, pendanaan dan usaha kecil-menengah atau UKM di Asia Tenggara.
Bertambah banyaknya unicorn ini menunjukkan valuasi perusahaan secara umum kian meningkat dan bakal terus membesar, apalagi ketersediaan modal untuk ekspansi startup di Asia Tenggara nyaris mendekati tak ada habisnya.
Salah satu faktornya adalah tindakan keras China terhadap teknologi-teknologi besar yang membuat investor global berpikir dua kali berinvestasi dalam perusahaan China karena risiko-risiko usaha yang bisa muncul dari tindakan pemerintah China tersebut sehingga modal dialihkan yang salah satunya ke Asia Tenggara.
Faktor lain yang menguntungkan Asia Tenggara adalah perseteruan politik dan dagang antara China dan India yang membuat modal ventura China mengalihkan perhatian kepada startup Asia Tenggara.
Asia Tenggara relatif stabil dan memiliki demografi muda yang erat kaitannya dengan keterbukaan kepada inovasi. Dan ini menjadi ekosistem ekonomi digital yang menjanjikan dan menarik bagi siapa pun, tidak saja China, tetapi juga bagian dunia lainnya.
Oleh karena itu tak ada waktu yang lebih tepat dari sekarang untuk berinvestasi dalam ekosistem digital Asia Tenggara.
Memang belum semapan China atau Amerika Serikat, tetapi ekosistem yang baru lahir seperti Asia Tenggara selalu menawarkan peluang berlimpah, apalagi ekonomi digital Asia Tenggara memang semakin menarik yang di antaranya terlihat dari upaya kian kencang pemain-pemain digital menjadikan dirinya pemain global yang terlihat dari kian intensifnya merger dan upaya menggandeng pemain-pemain digital global yang sudah sangat meraksasa.