Gunungsitoli, Sumut (ANTARA) - Sekilas tampak tidak ada perbedaan Desa Hinako, sebuah titik kecil di peta Indonesia yang berada di barat Pulau Nias di Sumatera Utara dengan sebelah timur langsung berbatasan dengan Samudera Hindia, dengan desa-desa pesisir lain di yang masuk wilayah terluar di Indonesia.
Melangkah masuk di dermaga desa yang membutuhkan perjalan satu jam dari dari Kecamatan Sirombu di Kabupaten Nias Barat menggunakan speedboat, laut biru, kapal nelayan yang beristirahat di peraduannya dan jejeran nyiur yang lebat di sepanjang pantai bukanlah pemandangan asing di pesisir Nusantara.
Namun, di balik ketenangan itu ada tunas-tunas gerakan sosial yang mulai bergeliat dimulai dari rumah dan dari sekelompok perempuan yang ingin memberdayakan diri mereka menggunakan hasil alam hadiah dari Tuhan Yang Maha Esa.
Adalah Roslina Hia dan Yarnidar Telaumbanua bersama delapan perempuan lainnya yang menjadi tunas-tunas untuk pemberdayaan perempuan di Hinako menggunakan kekayaan warisan alam berupa kelapa yang berlimpah di pulau itu yang diolah menjadi virgin coconut oil (VCO) secara alami.
Langkah itu didampingi oleh organisasi nirlaba Perkumpulan Sada Ahmo (PESADA), yang membuat sejak Februari 2021 di Hinako memiliki koperasi simpan pinjam (credit union/CU) untuk membangun keterampilan pengelolaan keuangan perempuan.
Dimulai dari pelatihan, sepuluh orang dari anggota CU itu mulai bergerak untuk serius mengolah VCO.
Ditemui oleh ANTARA di Desa Hinako pada Sabtu (20/11), Roslina mengatakan bahwa sebenarnya kebiasaan mengolah minyak kelapa sudah dimiliki oleh perempuan-perempuan di Pulau Hinako untuk memasak dan kebutuhan lainnya.
Namun, masuknya minyak sawit hasil produksi massal pasca-Gempa Nias pada 2005 mulai mengikis kebiasaan yang diajarkan dari ibu ke putrinya itu.
"Dari dulu nenek moyang kita bikin dari kelapa saja, baru masuk itu (minyak sawit) tahun 2000-an ini," kata Roslina.
Kemudahan menjadi salah satu alasan terbesar mengapa perempuan Hinako mulai beralih ke minyak yang dapat dibeli dengan mudah dari toko-toko kelontong yang menjual produk dari seberang pulau.
Pengenalan dengan minyak sejenis itu membuat para perempuan secara perlahan tapi pasti mulai lebih sering menggunakan minyak instan yang telah dibungkus kemasan itu.
Akibat dari kebiasaan baru itu, kelapa akhirnya hanya dijual sebagai bahan mentah atau diolah menjadi kopra.
Masuknya PESADA dengan pembentukan CU pada Februari 2021 ke desa berpenduduk 600 jiwa itu mulai menginisiasi pemanfaatan dari kelapa untuk memberi nilai tambah dan mendukung perekonomian perempuan di sana.
Dari pelatihan pembuatan yang diberikan PESADA kepada 28 anggota CU, sepuluh orang di antaranya membentuk kelompok untuk memulai langkah kecil menjadi perempuan berdaya dengan menggunakan nilai tambah VCO.
Pemberdayaan itu disambut antusias oleh Yarnidar yang mengatakan bahwa dengan adanya pemasukan tambahan dari VCO, meski jumlahnya masih terbatas akibat penjajaan yang baru dilakukan lewat bantuan PESADA, mereka bisa menambah tabungan di CU yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan rumah tangga.
Hal itu penting karena mayoritas perempuan di Hinako tidak memiliki pemasukan sendiri. Kebanyakan bergantung pada pasangan mereka, yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan dan atau pengolah kopra.
Pemasukan untuk ibu-ibu yang berada di Hinako datang hanya berkala. Menurut Yarnidar, mereka bisa mendapatkan uang tambahan ketika ada proyek pembangunan desa dengan membantu mengumpulkan pasir dan batu.
Untuk membantu keuangan mereka juga pergi ke ladang dan, ketika musimnya, memetik cengkeh yang ada di hutan di belakang desa.
"PESADA membantu kita di sini karena perempuan di sini tidak ada kerja. Jadi PESADA membilang biar ada penghasilan perempuan, tambahan penghasilan ibu-ibu ya kita buat inilah," ujar Yarnidar.
Buah kerja keras mereka mulai terlihat, dengan kelompok dari Desa Hinako sudah berhasil dijual 60 liter VCO melalui jaringan PESADA. Satu liter dari VCO itu sendiri dihargai sekitar Rp60.000.
Dengan kata lain kelompok itu telah mendapatkan sekitar Rp3.600.000 dari hasil usaha mereka membuat VCO. Hasil itu dibagi-bagi kepada sepuluh orang anggota kelompok, yang digunakan untuk keperluan masing-masing rumah tangga anggota dan ditabung untuk CU.
Bibit telah ditanam, ibu-ibu mulai bergerak dengan usaha mereka, tapi tantangan tetap ada dalam bentuk akses pasar yang lebih luas, pemasaran VCO ke luar pulau dan kebutuhan pemberian standar produk lewat konsep Participatory Guarantee Systems (PGS).
Participatory Guarantee Systems sendiri adalah pemberian jaminan dari kelompok tani organik dalam mengelola, produksi dan pemasaran produk pertaniannya secara standar nasional Indonesia (SNI).
Pemberdayaan perempuan
Mengubah pola pikir yang memiliki pengaruh adat tidaklah mudah, apalagi untuk desa yang berada jauh dari daratan utama seperti Hinako.
PESADA kemudian masuk dengan dukungan afiliasinya Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK) yang berada dalam Konsorsium Local Harvest bersama empat lembaga nirlaba lainnya. Pengembangan VCO itu juga merupakan salah satu produk yang menjadi fokus dalam kampanye Pangan Bijak Nusantara dari konsorsium tersebut.
Koordinator Regional Tapanuli Tengah dan Kepulauan Nias PESADA Berliana Purba mengatakan bahwa pendampingan dari kelompok yang berdiri sejak 1990 itu selain CU dilakukan pula diskusi setiap bulannya tentang hak-hak perempuan dan bagaimana menjadi salah satu pengambil keputusan di tingkat desa.
Keberadaan CU juga diharapkan dapat mendukung perempuan untuk lebih berdaya dengan mempermudah mereka melakukan penabungan dan peminjaman yang diperuntukkan demi memajukan usaha mereka.
Pemilihan VCO sebagai salah satu alat pemberdayaan perempuan Hinako juga bukan sembarang pilih. Keberadaan kelapa di pulau itu dan kualitasnya yang secara keseluruhan lebih baik dibandingkan daerah lain juga turut menjadi alasan PESADA mendorong peningkatan ekonomi perempuan melalui minyak kelapa murni.
Dampaknya sudah mulai terasa untuk para perempuan di Hinako terutama mereka yang menjadi kelompok produsen VCO, jelas Berliana.
"Perempuan sendiri sudah meningkat pengetahuan mereka mengenai pembuatan VCO, artinya mereka tahu bahwa VCO itu bisa menghasilkan uang dan itu bisa meningkatkan ekonomi," tegasnya.
Tidak hanya itu, pembuatan VCO yang bisa dilakukan di rumah masing-masing menjadi salah satu alasan para perempuan Hinako mulai tertarik menggeluti pembuatan VCO. Hal itu menjadikan mereka dapat bekerja dari rumah dengan tidak meninggalkan tugas di rumah tangga.
Dengan semakin berdayanya perempuan, maka akan dapat membuat mereka semakin memiliki tempat di tingkat pemerintahan desa dan mendorong perubahan paradigma yang terpengaruh adat bahwa lak-laki lebih dihargai dibandingkan perempuan.
Hal itu dapat membantu menurunkan kasus kekerasan dalam rumah tangga dan mendorong semakin banyak perempuan terlibat dalam proses pemilihan dalam bidang politik dan ekonomi desa.
Salah satu targetnya adalah semakin banyak keterwakilan perempuan dalam poin-poin strategis, termasuk menjadi pimpinan di Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Perubahan paradigma yang disebabkan dengan keberadaan CU dan pembuatan VCO serta diskusi setiap bulannya tentang kesetaraan gender dan hak perempuan membuat pola pikir semakin menuju arah bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak dihargai dengan porsi yang sama.
Dari penguatan kelembagaan perempuan itu beberapa capaian awal telah dimulai, sebuah langkah kecil menuju pemberdayaan perempuan secara total telah dimulai di desa yang merupakan salah satu daerah terluar Indonesia itu.
Bahkan, dalam musyawarah desa terbaru para perempuan anggota CU sudah mulai meminta dilibatkan dalam pengelolaan BUMDes yang kepengurusan sebelumnya diisi penuh oleh laki-laki.
"Proses ini pelan-pelan kita menuju bagaimana supaya meningkat kesadaran kritis mereka," demikian Berliana.
Perempuan desa terluar Hinako mulai bangkit berdaya dengan VCO
Senin, 22 November 2021 9:44 WIB 945