Bandarlampung (Antara) - Aksi solidaritas dan mogok kerja para dokter sebagai bentuk dukungan kepada dr. Ayu yang dipidana kasus malpraktik, merupakan aksi yang merugikan masyarakat dan bentuk arogansi profesi dokter.
Menurut Aryanto Yusuf, Direktur Eksekutif Pusat Studi Strategi dan Kebijakan (PUSSbik) Lampung, di Bandarlampung, Rabu, menilai aksi itu menyengsarakan, membahayakan, arogan, dan piciknya akal pikir para dokter.
"Mengingat jika mereka cerdas tidak perlu mogok atau cuti bersama untuk menunjukkan solidaritas kepada rekan seprofesi itu," ujarnya.
Dia menyatakan, masih ada cara lain yang elegan tanpa membahayakan jiwa pasien dapat dilakukan para dokter untuk menunjukkan solidaritas profesinya, misalnya dengan membuat petisi atau pengaduan kepada pemerintah dan DPR yang meminta perlindungan hukum atas profesi mereka.
Namun menurut Aryanto, harus diingat pula oleh para dokter tersebut bahwa semua profesi punya dampak dan risiko, dan tidak ada profesi yang kebal hukum ketika terbukti bersalah.
Pemberian sanksi bagi dokter yang terbukti bersalah di pengadilan, ujarnya, bukanlah bentuk kriminalisasi tapi bentuk penegakan hukum dan keadilan, jangan jadi dokter jika mentalnya tidak teruji dan lemah.
Aksi cuti bersama atau mogok kerja dokter tersebut menurut Aryanto, sangat berisiko terhadap jiwa orang lain.
Dia mempertanyakan, apakah dokter tersebut tidak paham bahwa setiap hari selalu ada kecelakaan yang memerlukan tindakan medis segera, atau pasien kanker yang perlu dioperasi atau ibu yang mau melahirkan, belum lagi pasien anak-anak yang butuh ketelitian petugas medis, sehingga jika mereka mogok kerja lantas bagaimana nasib para pasien tersebut.
"Apakah nyawa para pasien tersebut sebanding dengan semangat solidaritas yang keliru dan membahayakan jiwa orang lain serta menggangu pelayanan publik kesehatan tersebut," ujarnya mempertanyakan.
Menurut dia, perilaku dokter yang dengan aksi solidaritas tersebut seolah menunjukkan moral mental dokter yang galau, padahal kata mereka profesi dokter itu dengan ilmu yang tinggi.
Ia berpendapat, selama ini bukanlah dokter yang bekerja keras, di rumah sakit atau puskesmas justru perawat dan bidan yang bekerja keras, selama 24 jam menemani dan merawat pasien, di tengah malam atau pagi hari ketika dokter tidak ada atau datang terlambat, keluarga pasien marah dan protes pada perawat dan bidan bukan kepada dokternya.
Namun ketika akan membagi insentif kerja, apakah perawat dan bidan dapat bagian paling besar, ujarnya pula.
Dia melanjutkan, justru para dokter yang mendapatkan insentif paling besar, padahal para dokter tersebut hanya datang sebentar memeriksa pasien lalu pulang dan buka praktik di rumahnya atau klinik milik mereka.
"Apakah adil bentuk perlakuan dan kerja seperti itu, perawat dan bidan yang paling dekat dengan pasien, mereka yang merawat dan menemani pasien setiap waktu bukan dokter, tapi perawat dan bidan seolah diperlakukan seperti pembantu atau asisten dokter bukan sebagai rekan sejawat sesama tenaga medis," ujarnya lagi.
Menurutnya, jika bentuk solidaritas profesi seperti ini, tidak terbayangkan jika ditiru oleh para anggota militer atau polisi atau masinis kereta api, bahkan jika petigas pelayanan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) saja melakukan mogok nasional, tentu semua menjadi kerepotan.
Ia berpendapat, seharusnya dokter dengan status profesi terhormat dan berilmu tinggi dapat menunjukkan perilaku solidaritas dengan cara-cara yang elegan serta menunjukkan betapa tinggi ilmu mereka, bukan dengan alasan solidaritas lantas menyandera para pasien yang sekarat karena tidak ada tindakan medis dari dokter.
"Hari ini jika banyak pasien yang meninggal karena tidak ada tindakan medis segera dari dokter, maka itulah harga mahal yang harus dibayarkan oleh warga masyarakat atas tindakan solidaritas para dokter tersebut," ujarnya.
Kami dari PUSSbik dan Koalisi Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3) Lampung kecewa dan mengecam tindakan solidaritas para dokter yang cuti bersama atau melakukan mogok kerja, karena solidaritas atas rekan dokter yang dipidana akibat malapraktik, ujar Aryanto lagi.
Menurut dia dokter bukan profesi kebal hukum, jika bersalah maka wajib dihukum.
"Tindakan mogok tersebut mengganggu pelayanan publik bidang kesehatan, mengancam jiwa para pasien, dan bentuk arogansi profesi, pemerintah dan DPR perlu segera mengambil tindakan bagi organisasi kedokteran yang jika terbukti dengan sengaja memobilisir tindakan cuti bersama atau mogok kerja secara nasional," kata dia.
Menurut dia, sepertinya para dokter harus belajar banyak dari para wartawan.
"Saat rekan para wartawan itu mengalami intimidasi, dipukul, bahkan dibunuh, termasuk yang dihukum, solidaritas tetap dikibarkan. Tapi mereka tidak mengabaikan tanggung jawabnya mengabarkan berbagai hasil liputannya. Media elektronik tetap berjalan, dan koran tidak terhenti terbit," ujarnya.
Ia berharap, semoga para dokter yang mengusung solidaritas atas kasus hukuman menimpa teman seprofesinya, tidak sampai mengabaikan pelayanannya kepada pasien.
"Silakan menuntut hak anda, tapi tanggung jawab tetap harus dijalankan," demikian Aryanto.
"Mogok dokter bentuk arogansi profesi"
Rabu, 27 November 2013 12:59 WIB 1252