Jakarta (ANTARA) - Komite Nasional Pengendalian Tembakau meminta Pemerintah untuk lebih memperketat penampilan sponsor iklan mengenai rokok yang menyasar pada anak-anak dan remaja Indonesia.
“Saya kira perlu melakukan pengendalian konsumsi rokok secara tegas dan berkelanjutan. Mari lindungi generasi emas, bukan menciptakan generasi cemas dengan rokok,” kata Ketua Bidang Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat Komnas Pengendalian Tembakau Rita Damayanti dalam “Sosialisasi Pemahaman Hubungan Perilaku Merokok dan Stunting” yang diikuti secara daring di Jakarta, Jumat.
Meskipun tidak menyebutkan merek atau perusahaan secara spesifik, Rita menegaskan terdapat perusahaan yang menggunakan iklan rokok dan menargetkan anak serta remaja. Hal itu dilakukan melalui film yang diputar di bioskop serta melekatkan citra produk pada situs-situs internet untuk remaja.
Sementara itu, terdapat pula iklan rokok yang dengan sengaja diminta untuk ditempatkan sedekat mungkin dengan sekolah. Akibatnya, tiga dari empat remaja melihat iklan itu melalui media online dan sebesar 31,85 persen mendorong mereka untuk merokok.
Kegiatan yang disponsori langsung oleh perusahaan rokok, juga dapat mempengaruhi intensi pembelian rokok pada remaja baik secara langsung maupun tidak langsung.
“Hal ini terjadi karena anak-anak itu merupakan tambang emas. Dia akan merokok terus sampai 40 hingga 50 tahun ke depan,” ucap dia.
Guna mencegah remaja memiliki kecanduan akan rokok, Rita menekankan terdapat enam pilar yang dapat dijalankan pemerintah secara lebih agresif dalam mengatasi hal tersebut.
Seperti melarang secara total adanya iklan atau promosi dan sponsor rokok, meski banyak sponsor diberikan melalui perusahaan itu.
Dalam menggencarkan peringatan bahaya rokok pada kesehatan, gambar pada bungkus rokok perlu diperbanyak sampai 90 persen. Agar perokok dapat melihat secara jelas dampak buruk dari kecanduan rokok.
Pada pilar ketiga, pemerintah dapat mengajak secara aktif untuk mendirikan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di rumah setiap keluarga agar dapat melindungi para perokok pasif seperti ibu hamil yang rentan terpapar asap rokok.
Demikian dari sisi menaikkan harga rokok. Tarif cukai tembakau (CT) yang masih tergolong murah, mengakibatkan anak dan remaja mudah membeli rokok. Sehingga perlu ada kenaikan harga rokok setinggi-tingginya.
Pilar kelima, pemberian edukasi melalui informasi perlu disebarkan seluas-luasnya mengenai risiko dan bahaya dari konsumsi rokok.
Sedangkan yang terakhir, pemerintah harus aktif membuat bantuan untuk para perokok aktif dapat berhenti melalui sejumlah program yang ada baik di fasilitas kesehatan seperti puskesmas.
“Tenaga kesehatan maupun tenaga pendamping ini, harus menjadi garda terdepan untuk mengedukasi masyarakat bahwa rokok itu berdampak besar pada generasi ke depannya,” ujar Rita.