Bengkulu (Antara) - Pakar hukum pidana dari Universitas Bengkulu Yamani mengatakan pemerintah daerah perlu mendorong pembentukan Peraturan Daerah tentang Hukum Adat untuk pengakuan terhadap masyarakat adat.
"Perda tentang Hukum Adat perlu didorong sebagai bentuk perlindungan terhadap masyarakat hukum adat," katanya di Bengkulu, Senin.
Hal itu diungkapkanya dalam diskusi di Sekolah Pendamping Hukum Rakyat (SPHR) Akar Foundation dengan tema "Sentralisme hukum dan pengingkaran hak-hak masyarakat lokal atas kekayaan alam telaah tata laksana (struktur) hukum".
Menurutnya, dalam UU nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan telah diatur akses masyarakat adat terhadap kawasan hutan negara.
Namun dalam pasal 67 disebut bahwa masyarakat adat yang memiliki akses tersebut antara lain masih melakukan pemungutan hasil hutan, pemberdayaan dalam pengelolaan kawasan hutan.
Selanjutnya syarat kedua adalah sudah memiliki hukum adat yang disahkan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda).
"Perda tentang hukum adat ini yang sulit merealisasikannya, karena perlu kemauan politik dari legislatif dan eksekutif," ujarnya.
Ia mengatakan saat ini Indonesia berada pada rezim hukum tertulis, sehingga hukum adat harus masuk dalam struktur hukum positif seperti berbentuk peraturan desa, perda dan peraturan gubernur.
Untuk mewujudkan hal itu, perlu dilakukan penataan pluralisme hukum adat mulai dari membuat kelembagaan atau fungsionaris hukum lokal, catatan hukum adat dan lainnya.
Peserta diskusi, Hexa Prima Putra dari Yayasan Konservasi Sumatra (YKS) mengatakan dalam tatanan hukum positif, negara tidak pernah memberikan hak kontrol kepada masyarakat adat atas Sumber Daya Alam (SDA) di wilayahnya.
"Termasuk dalam UU tentang Kehutanan hanya ada hak akses, bukan hak kontrol," ujarnya.
Pemerintah kata dia masih setengah hati mempercayakan pengelolaan SDA kepada masyarakat adat dan masyarakat secara komunal.
Hal itu menurutnya tidak terlepas dari kebijakan negara atas kepentingan pemilik modal. (Antara)