Bengkulu, (Antara) - Pakar kehutanan dari Universitas Bengkulu Wiryono mengatakan bahwa pemerintah Provinsi Bengkulu sebaiknya tidak mengandalkan dana pengamanan kawasan hutan lewat program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan atau REDD.
"Mengingat hampir dua dasawarsa sejak dimulainya pembicaraan perdagangan karbon tapi tidak ada realisasi, sebaiknya Bengkulu jangan mengandalkan REDD untuk pendanaan rehabilitasi hutan," katanya saat menjadi narasumber dalam lokakarya wartawan "Meliput perubahan iklim" di Bengkulu.
Ia mengatakan, mengingat rumitnya skema perdagangan karbon, sebaiknya pemda dan masyarakat tidak mengandalkan tetapi juga tidak mengesampingkan REDD+ untuk pendanaan rehabilitasi kawasan hutan rusak.
Sebab, yang paling berkepentingan untuk memulihkan fungsi hutan di Bengkulu bukanlah dunia internasional, melainkan masyarakat Bengkulu sendiri.
"Kalau hutan Bengkulu rusak, bukan orang Amerika yang akan menangis, tapi orang Bengkulu itu sendiri," ujarnya.
Menurutnya, hutan tropis sebagai paru-paru dunia adalah slogan yang selama ini digunakan aktivis dan otoritas kehutanan untuk membanggakan masyarakat Bengkulu.
Namun, slogan ini justru dapat menumbuhkan kesan bahwa yang menikmati fungsi hutan adalah masyarakat internasional, sedangkan masyarakat lokal dan pemda yang menjaga hutan tidak memperoleh manfaat.
"Padahal manfaat ekosistem hutan dapat dirasakan masyarakat lokal sehari-hari, seperti air untuk irigasi dan lainnya," ujarnya.
Jasa ekosistem hutan yang mudah difahami oleh masyarakat umum dan banyak pejabat pemda adalah jasa penyediaan, yaitu hasil hutan yang dapat dijual menjadi uang, dan potensi penyediaan lahan yang dapat dimanfaatkan untuk pertanian dan keperluan lain.
Jasa yang kedua, yaitu pengaturan, meliputi pemeliharaan kualitas udara, pengaturan iklim, pengaturan air, pencegahan erosi, penjernihan air dan pengolahan limbah, pengaturan penyakit, pengaturan hama, penyerbukan tanaman.
Lokakarya yang digelar Lembaga Pers Dr Soetomo dan Kedutaan Besar Norwegia itu juga menghadirkan Ketua Tim Percepatan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Gunggung Senoaji.
Ia menyebutkan bahwa 56,90 persen emisi gas rumah kaca Bengkulu disumbang oleh sektor kehutanan dan lahan gambut. Selain itu, sektor transportasi, energi, industri dan pengolahan limbah.
Untuk menekan emisi gas rumah kaca telah ditetapkan kegiatan inti untuk sektor kehutanan antara lain penyidikan dan perlindungan kawasan hutan, pemeliharaan hutan, dan reboisasi seta penghijauan.
"Komitmen pemerintah Bengkulu dalam rencana aksi daerah akan menurunkan emisi 26,5 juta ton emisi karbon pada 2011 hingga 2016," katanya.
Sedangkan pada 2016 hingga 2021, Provinsi Bengkulu berkomitmen menurunkan emisi sebesar 36,2 juta ton karbon dioksida (CO2).
***3***
Pakar : Bengkulu Jangan Andalkan Program REDD
Selasa, 25 Februari 2014 13:32 WIB 2336