Jakarta (ANTARA) - Pemerintah melalui Kementerian Agama mencanangkan 2022 merupakan tahun toleransi. Tahun yang menjadi wujud dari komitmen pemerintah dalam merawat toleransi baik sosial, agama, maupun politik, demi memperkuat Indonesia sebagai bangsa yang kokoh.
Bangsa Indonesia memiliki keragaman budaya, ras, agama, suku, hingga bahasa. Keberagaman ini menjadi kekayaan penting yang dimiliki Indonesia sebagai bangsa multikultural yang kokoh serta berdaulat.
Menjadi sangat penting untuk mengumandangkan kekayaan ini kepada masyarakat dunia bahwa Indonesia merupakan negara multikultural yang mayoritas berpenduduk muslim dan mampu berdiri tegak di tengah keberagaman.
Apalagi Indonesia akan menggelar Presidensi G20 di Bali pada akhir tahun ini. Indonesia memegang kunci untuk menggaungkan nilai-nilai toleransi yang merupakan buah dari konsep moderasi beragama.
Wakil Presiden Forum Lintas Agama G20 Katherine Marshall menyampaikan bahwa Indonesia memiliki kesempatan emas menggaungkan suara keragaman lintas agama ke dalam diskusi global. Sehingga momen G20 menjadi spesial dan bermakna atas sumbangsih Indonesia bagi kehidupan tatanan global.
Indonesia bisa menjadi role model bagaimana mengimplementasikan hidup damai dan harmonis pascakedaruratan COVID-19 untuk pendidikan terutama pendidikan keragaman dan kehidupan keberagamaan di Indonesia.
"Saya rasa Indonesia memiliki kesempatan khusus untuk menunjukkan lewat contoh keragamannya sendiri," ujar Katherine dalam diskusi pada Februari lalu.
Konsep moderasi beragama berbeda dengan moderasi agama. Agama tidak perlu dimoderasi karena agama itu sendiri telah mengajarkan prinsip moderasi, keadilan, dan keseimbangan.
Moderasi beragama dipahami sebagai cara pandang, sikap, dan praktek beragama. Hal tersebut menjadi proses dalam menjalani kehidupan sosial yang sebenarnya. Moderasi beragama bukan sesuatu yang statis, tetapi sesuatu yang dinamis.
Cara pandang, sikap, dan praktek itu adalah dalam rangka memahami dan mengamalkan esensi agama yaitu kemanusiaan dan kemaslahatan bersama. Maknanya adalah melindungi dan menjunjung tinggi harkat martabat kemanusiaan, serta mewujudkan kebaikan bersama.
Bahkan saking pentingnya, penguatan moderasi beragama sudah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Kamaruddin Amin menjelaskan terdapat empat indikator moderasi beragama, yaitu komitmen kebangsaan, toleransi, anti-kekerasan, dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal.Ia menekankan bahwa salah satu dari empat indikator tersebut adalah toleransi yang harus diterjemahkan dengan jelas.
"Toleran dalam arti menghargai perbedaan tanpa mencampuradukkan akidah. Misalnya, saya umat Islam, saya meyakini agama saya yang paling benar, itu akidah. Kemudian saudara saya yang beragama non-Muslim, tentu mereka juga punya keyakinan yang sama tentang agamanya," kata dia.
Gambaran moderat sesungguhnya telah ditunjukkan Rasulullah Saw. Rasul tak pernah mengusik penganut agama lain bahkan melarang pengikutnya untuk memusuhi, bertindak tidak adil, atau memerangi mereka.
Jika ditarik dalam sejarah perkembangan Islam, Walisongo menyebarkan agama Islam di Nusantara dengan tak melepaskan kultur yang berkembang di masyarakat saat itu. Sunan Kalijaga, satu di antara sembilan wali, menggunakan wayang sebagai media untuk berdakwah.
Akulturasi budaya itu menjadi jembatan bagi Sunan Kalijaga dalam mensyiarkan agama Islam di Nusantara. Dengan caranya tersebut masyarakat saat itu mampu memahami dan menerima ajaran yang disebarkan Sunan Kalijaga.
Contoh yang ditunjukkan Sunan Kalijaga berdakwah secara damai dan ramah, menghargai budaya yang berlaku di masyarakat serta mengakomodasinya dalam ajaran Islam tanpa sedikitpun menghilangkan entitas kultur yang berkembang sebelumnya.
Tantangan
Tak bisa dipungkiri bahwa keberagaman di Indonesia akhir-akhir ini tengah diuji. Banyak pemahaman, sikap, dan praktik 'ekstrem' baik kanan maupun kiri bermunculan.
Anggota Pokja Moderasi Beragama Kementerian Agama Thobib Al Asyhar memandang dewasa ini tak sedikit tokoh agama, penceramah agama, para pengikut tokoh umat tertentu yang secara gamblang mengampanyekan narasi-narasi kebencian.
Mereka kerap mendengungkan "permusuhan" dengan mengolok-olok agama lain melalui pilihan-pilihan diksi kebencian.
Cara pandang tokoh agama tersebut diikuti pula oleh para pengikutnya. Hal ini terlihat dalam beberapa ekspresi keagamaan yang ditampilkan seperti merasa paling benar sendiri dan menganggap orang lain di luar kelompoknya itu sesat.
Kondisi tersebut bahkan selalu berlanjut di media sosial yang menimbulkan pertentangan serta mengancam keharmonisan. Pemikiran eksklusif ini apabila dibiarkan dan terus berkembang akan menjadi praktek intoleran.
Ekspresi kebencian kepada kelompok yang berbeda mewarnai ruang-ruang sosial. Contoh paling terbaru saat Saifuddin Ibrahim yang mengaku sebagai pendeta itu meminta agar 300 ayat Al Quran dihapus serta menganggap pesantren merupakan tempat yang melahirkan kaum intoleran.
Atau contoh lain saat seseorang membuang sesajen di lokasi erupsi Gunung Semeru karena dianggap musyrik atau bagaimana susahnya membangun gereja karena adanya penolakan dari warga adalah contoh kecil dari toleransi yang tengah diuji.
Menurut Dosen FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Rumadi Ahmad membiarkan hal tersebut tanpa adanya koreksi, lama-kelamaan akan dianggap sebagai kenormalan dan membuat fondasi yang telah dibangun sejak sekian lama akan rapuh kemudian hancur.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyatakan bahwa moderasi beragama berarti membawa pencerahan untuk semua. Moderasi beragama juga menghadirkan kedamaian di dalam diri dan di dalam hidup bersama. Membuat orang menjadi cerdas dalam berpikir dan beradab di dalam perilaku.
"Penting bagi umat seluruh agama untuk memastikan bahwa kerukunan, perdamaian, dan harmoni adalah ajaran universal agama. Sudah semestinya semua bergerak bersama dalam menciptakan persaudaraan kemanusiaan, bukan perpecahan dan permusuhan," kata Menag.
Moderasi beragama menawarkan jalan bagi hidup manusia dalam mewujudkan perdamaian, kerukunan, dan tenggang rasa. Sikap yang lahir dari hati yang penuh kasih yang kemudian tampak di dalam hidup sehari-hari yang welas asih.
Maka dari itu, tahun toleransi harus menjadi gerakan bersama. Pemerintah bergerak dengan instrumen otoritasnya dan masyarakat pun jangan hanya jadi penonton. Sebab toleransi bukan buah yang turun dari langit, tetapi sesuatu yang perlu terus diupayakan.