Jakarta (ANTARA) - Jumat (6/5) siang itu, Ecih (60), duduk di lantai seorang diri, bersandar pada kursi di lantai dua dekat pintu keberangkatan penumpang Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Dia mengeluh karena para putranya tak kunjung kembali, padahal sudah sekitar setengah jam mereka pamit pergi mencari makanan untuk santap siang.
Di lantai yang sama sebenarnya ada dua warung makan yang buka. Tapi, dia enggan membeli nasi di sana karena merasa makanan masakan di warung itu tak sesuai seleranya.
Ecih sebenarnya sudah punya warung makan langganan, tetapi selama sepekan terakhir warung itu tutup. Selain rasa masakan sang pemilik warung cocok di lidahnya, harga makanan yang ditawarkan pun relatif pas di kantongnya.
Wanita berhijab itu sehari-hari berjualan berbagai barang mulai dari masker, bantal hingga kipas. Sudah tujuh tahun dia berjuang mencari rezeki di pelabuhan yang menjadi salah satu pintu keberangkatan dan kedatangan penumpang, termasuk di masa arus mudik dan balik Lebaran.
Bertepatan dengan H+3 Idul Fitri 1443 Jumat itu mungkin bukan hari keberuntungannya untuk mendapatkan rupiah. Pihak Pengawas Posko Angkutan Laut Lebaran Tahun 2022 Pelabuhan Tanjung Priok mengatakan tak ada kedatangan atau keberangkatan kapal hari itu.
Kapal yang dijadwalkan tiba pada 7 Mei mendatang yakni Kapal Motor (KM) Dorolonda dari Subaraya dan melayani rute di antaranya Makassar, Namlea, Ambon, Ternate dan Bitung serta KM Kelud dari Batam.
KM Dorolonda akan tiba di Pelabuhan Tanjung Priok pada pukul 06.00 WIB lalu berangkat pada pukul 17.00 WIB menuju Surabaya. Sementara KM Kelud dijadwalkan tiba pukul 20.00 WIB dan akan berangkat pada Minggu (8/5) pukul 23.59 WIB menuju Batam.
Arus Balik Idul Fitri 1443 H di Pelabuhan Tanjung Priok diprediksi akan terjadi mulai H+4 Lebaran atau Sabtu (7/5) dan H+5 atau Minggu (8/5).
Ecih mengaku menanti hari Sabtu tiba. Walau dia tak terlalu optimistis barang dagangannya banyak yang laku terjual. Selama pandemi COVID-19 biasanya pemasukannya berkisar sekitar Rp100 ribu per hari. Jumlah yang menurut dia cukup untuk memenuhi kebutuhannya.
Tak jauh dari tempat Ecih duduk, ada Sri Wahyuni bersama dua buah hati dan suaminya. Sri bukan pedagang seperti Ecih, melainkan calon penumpang kapal tujuan Pontianak, Kalimantan Barat. Dia dan keluarganya sudah berada di pelabuhan sejak Kamis (5/5) setelah menempuh perjalanan dari kawasan Cengkareng, Jakarta Barat.
Semalam dia menginap di pelabuhan bermodalkan tikar tipis sebagai alas tidur. Tak ada selimut yang membantu menghalangi tubuhnya dari angin dingin malam.
Sri yang berasal dari Bima, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) itu mengaku tak tahu jadwal kapal yang bisa dia naiki. Dia hanya ikut suaminya tanpa banyak bertanya.
Masalah Sri bukan perkara dinginnya malam atau gangguan nyamuk melainkan sikap tak ramah salah satu pemilik warung di kawasan pelabuhan. Dia mengatakan, untuk meminta mangkuk tambahan karena ingin memisahkan sayur dan nasi, Sri harus mendengar omelan dari si pemilik warung.
"'Nambahin cucian piring saja' ucap Sri menirukan gerutuan si pemilik warung.
Selain soal sikap tak ramah, harga makanan di warung itu yang dinilainya cukup mahal juga menjadi tambahan masalah untuk Sri. Sepiring nasi ayam, kata dia, dijual seharga Rp27 ribuan.
Mengetahui itu, Ecih iba. Dia berniat mengajak Sri membeli makanan di salah satu warung makan Padang langganannya besok yang terletak di luar terminal penumpang. Ecih menjamin rasa makanan yang dijual lezat.
Tak lama berbincang-bincang dengan Ecih dan Sri, Wati (60) mendekat. Dia menggandeng seorang wanita berjilbab merah muda. Rupanya, Wati seorang ahli pijat tradisional. Dia ingin membantu si wanita itu yang mengaku terkena masalah lambung.
Wati yang berasal dari Pangkal Pinang, Bangka itu sudah lebih dari 20 tahun menjalani profesi sebagai ahli pijat tradisional. Bakat memijat diwarisinya dari orang tuanya.
"Saya lihat dia (wanita berjilbab merah muda) memegang kepalanya. Saya tanya apa dia sakit? Kelihatan pucat bibirnya, saya mau coba bantu," kata dia yang berniat menumpang kapal besok hari itu.
Wati biasanya tak mematok biaya dari orang-orang yang meminta bantuan jasanya. Tetapi berbeda cerita jika orang-orang penting dan pejabat yang meminta pertolongannya. Biasanya dia memasang tarif Rp400 ribu untuk wanita dan Rp500 ribu untuk pria.
Bukan hanya Wati, Ecih ataupun Sri dan keluarganya yang siang itu berdiam di lantai dua terminal penumpang pelabuhan. Masih ada sosok-sosok lain yang lalu lalang dengan kepentingannya masing-masing.
Para petugas Palang Merah Indonesia (PMI) misalnya, yang berkeliling sembari membagikan masker medis secara gratis kepada para calon penumpang dan pedagang sembari mengingatkan pentingnya menerapkan protokol kesehatan.
Mereka menjelaskan, pandemi COVID-19 belum usai sehingga orang-orang masih perlu menerapkan protokol kesehatan termasuk mengenakan masker dengan benar.
Tak hanya pihak tenaga kesehatan, pihak Otoritas Pelabuhan (OP) Tanjung Priok juga mengingatkan orang-orang termasuk para calon penumpang kapal untuk mematuhi protokol kesehatan seperti mengenakan masker, menerapkan etika batuk dan bersin yang benar, rajin mencuci tangan dan menghindari kerumunan baik secara verbal maupun menyebarkan informasi lewat selebaran.
Sepenggal kisah orang-orang di Pelabuhan Tanjung Priok H+3 Lebaran
Jumat, 6 Mei 2022 21:43 WIB 1948