Yogyakarta (Antara) - Pelaksanaan pemilihan kepala daerah tidak langsung bertendensi meningkatkan biaya politik uang, kata peneliti Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Rimawan Pradiptya.
"Hal itu berpotensi menyuburkan korupsi di daerah terutama di kabupaten dan kota," katanya pada analisis 'game theory' terkait dampak pilkada tidak langsung, di Yogyakarta, Senin.
Menurut dia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang notabene hanya ada di Jakarta, akan kewalahan menangani kasus korupsi yang terstruktur, sistematik, dan masif akibat pilkada tidak langsung.
"Ketika koruptor tumbuh subur di daerah-daerah akibat pilkada tidak langsung, KPK dan PPATK berpotensi diperangi oleh aliansi koruptor untuk dilemahkan bahkan dihancurkan," kata Deputi Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis UGM itu.
Ia mengatakan berdasarkan argumentasi ekonomi dengan menggunakan alat analisis "game theory", pilkada tidak langsung menciptakan dampak buruk lebih banyak bagi rakyat daripada pilkada langsung.
Dalam sistem pilkada langsung, kata dia, kolusi antara anggota DPRD dan kepala daerah cenderung lebih sulit daripada dalam sistem pilkada tidak langsung.
Selain itu, dalam pilkada tidak langsung ada kecenderungan calon kepala daerah terpilih bukan calon yang berkualitas dengan menawarkan program berkualitas untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
"Dalam sistem pilkada tidak langsung potensi kolusi antara kepala daerah dan anggota DPRD akan meningkat, sehingga merugikan rakyat," katanya.
Pengamat politik UGM Mada Sukmajati mengatakan pilkada tidak langsung akan mendorong munculnya oligarki di era desentralisasi dan otonomi daerah saat ini.
"Pengesahan UU Pilkada Tidak Langsung merupakan gerakan balik antidemokrasi, termasuk pengesahan UU MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3)," katanya.***1***