Jakarta (Antara) - Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai menyatakan perkara penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui media sosial berbeda dengan kasus yang menjerat Prita Mulyasari.
"Kami melihat ini beda dengan kasus Prita," kata Haris di Jakarta Kamis.
Haris menjelaskan Prita merupakan korban praktik dokter yang melayani pengobatan karena menduga ada kejanggalan. Sehingga Prita menyampaikan keluhan untuk keadilan melalui surat elektronik yang mendapatkan reaksi dan dukungan publik.
Haris menuturkan kasus penghinaan terhadap Presiden Jokowi yang melibatkan seorang tukang tusuk sate berinisial MA berbeda dengan Prita.
"Dikatakan, dia (MA) mengedit gambar di mana ada gambar orang bersetubuh diganti jadi wajah Jokowi dan Mega," kata Haris.
Dari perbuatan itu, Haris mengatakan tindakan MA merupakan pelaku kejahatan yang merugikan orang yang terdapat pada gambar itu.
Haris menyebutkan pihak kepolisian banyak menangani seperti kasus yang dilakukan MA terkait penghinaan melalui media sosial, sebagaimana diatu dalam Undang-Undang tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE).
Tindakan yang dilakukan MA, menurut Haris merugikan korban secara materil maupun imateril berupa nama baik dan reputasi.
Pihak LPSK meminta publik menyikap kasus MA tidak dari sisi profesinya, namun implikasi terhadap korban akibat tindakan yang dilakukan pelaku.
Haris menambahkan pelaku bisa mendapatkan keringanan jika pihak korban mencabut laporan dan memaafkan tindakan pelaku.
Sementara itu, anggota Dewan Pers Imam Wahyudi berharap media massa memberitakan kasus penghinaan terhadap Presiden Jokowi secara independen.
"Kita (media) harus tetap independen karena dalam konteks ini agak berbeda dengan kasus Prita. Kasus media sosial wilayah tidak masuk wilayah Undang-Undang Pers," ujar Imam.***1***