Solusi bagi peliknya urusan daging sapi jelang Idul Fitri
Minggu, 26 Maret 2023 9:13 WIB 1287
Alurnya, mulai dari impor sapi bakalan yang harus digemukkan oleh peternak sebelum disembelih, lalu dijual langsung atau melalui tengkulak ke pedagang besar (grosir) yang membantu rumah potong hewan (RPH) mencarikan calon pembeli.
Tahapan berikutnya, daging sapi itu dijual ke pedagang grosir berskala kecil yang menjualnya lagi ke pedagang eceran di pasar-pasar tradisional atau supermarket, sebelum akhirnya sampai ke tangan konsumen. “Proses panjang ini memerlukan biaya tak sedikit,“ tutur Amanta.
Sementara itu, kolaborasi, seperti yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta dengan membuka pusat pembibitan dan pemotongan sapi di NTT sejak 2014, perlu dikembangkan untuk mengatasi kelangkaan daging sapi di wilayah-wilayah tertentu.
DKI Jakarta yang kekurangan pasokan daging sapi sekitar 95.000 ton setahun mustahil untuk membuka peternakan mengingat padatnya kawasan permukiman, sehingga lebih memilih bersinergi dengan Pemprov NTT.
Provinsi-provinsi lain yang kekurangan pasokan daging sapi juga bisa membangun kolaborasi dengan 10 provinsi sentra produksi daging sapi, seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, dan Sulawesi Selatan.
Perlu kemauan baik pemerintah untuk membenahi tata niaga daging sapi, transparansi kuota impor, koordinasi dan sinergi antara Kementan dengan Kemendag terkait pendataan angka konsumsi, kebutuhan, pengembangan peternakan, hingga pengawasan pada pedagang yang nakal.
Diversifikasi atau substitusi konsumsi protein hewani perlu dilakukan dengan pemanfaatan telur atau daging ayam serta protein nabati dari kacang-kacangan, terutama kedelai.
Dengan begitu, ketergantungan pada daging sapi tidak terlampau mengikat seiring tata niaga daging yang semakin rapi, transparan, dan sehat.
*Nanang Sunarto adalah mantan Wapempelred ANTARA