Jakarta (ANTARA) - Harga daging sapi seperti halnya komoditas pangan lainnya melonjak saat Bulan Suci Ramadhan dan menyongsong Idul Fitri, bahkan dilaporkan di Pulau Batam sampai menembus harga Rp190.000 per kg pada akhir Maret 2023.
Sejak puluhan tahun, peliknya persoalan daging sapi seolah-olah tak berujung, karena ada saja pihak-pihak yang menjadi spekulan, bahkan seperti oknum pejabat berwenang, penjual atau pelaku usaha nakal, sebaliknya yang dirugikan, jelas rakyat jelata.
Selain persoalan tata niaga impor daging sapi dari hulu sampai hilir, amburadulnya data juga berkontribusi dalam kekusutan soal daging sapi, menurut pengajar agrobisnis Universitas Padjadjaran Rochadi Tawaf.
Dari sisi pendataan, angka konsumsi daging sapi yang dirilis Pusdatin Kementan sering berbeda dengan yang yang dikeluarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Dari sisi tata niaga, kepentingan berbeda antara pemangku kepentingan utama pengadaan daging sapi, yakni Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan, acap kali dimanfaatkan oleh importir nakal untuk meminta tambahan kuota impor.
Mungkin publik belum lupa, kasus “main mata” antara importir daging sapi dan politisi partai yang menerima suap miliaran Rupiah untuk menggolkan tambahan ribuan ton kuota impor.
Para pelaku yang terlibat telah divonis penjara menunjukkan betapa urusan daging sapi bisa menjadi carut marut berujung persoalan hukum yang rumit.
Impor melonjak
Data Kementan menyebutkan, impor 2.100 ton daging sapi dilakukan sejak 1969 saat produksi dalam negeri sebesar 164.900 ton, namun impor melonjak 12 kali lipatnya menjadi 276.761 ton pada 2021 saat produksi lokal mencapai 487.802 ton.